Rumah yang berada di dekat jalan raya, tak perlu berharap untuk tidak mendengarkan bisingnya kendaraan. Apalagi pada waktu-waktu seperti menjelang Magrib, atau pada jam-jam orang mulai beraktivitas; berangkat kerja, pergi ke sekolah atau lainnya. Selama tinggal di rumah Ibu, untuk tidur tanpa terganggu dengan suara sibuknya jalan raya adalah mustahil. Kadang perlu waktu agak lama untuk terlelap jika saja sedang tidak benar-benar mengantuk atau lelah.
Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan malam. Lantai balkon di mana aku berselonjor sekarang terasa dingin, tapi aku suka. Bersandar di dinding, aku menatap ke arah langit malam yang bintangnya tidak terlalu banyak tampak. Sesekali atensiku beralih ke lalu-lalang di jalan sana. Tanganku menggenggam ponsel yang menyala, ketika hendak mati aku menyentuhnya lagi. Sehingga tak sempat layar menggelap.
Ponselku sepi, kecuali riuh di grup WhatsApp terutama grup kelas yang di mana jika aku muncul mereka akan diam saja, atau parahnya membalasku dengan kata-kata yang tidak enak. Kini tak ada lagi teman yang biasanya bertukar chat denganku. Semuanya memang sudah berubah, sejak kejadian itu menghancurkan hari-hariku.
Lumrah, manusia berharap pada manusia. Lumrah juga, akhir yang didapat adalah kecewa, tak sesuai keinginan. Begitulah yang kuhadapi sekarang. Aku dan Kak Arven sudah saling menyimpan nomor. Harapku, tertebak bukan? Benar. Ingin di-chat olehnya.
Bintang-bintang di langit sebenarnya bukanlah hal yang menarik bagiku saat ini. Jadi, sesekali aku menatap layar ponselku.
Tetiba, sebuah chat masuk dari nomor yang tidak kukenal. Aku mengernyitkan dahi, melihat info nomor tersebut. Ardino? Oh, aku ingat. Kak Ardino yang berbicara denganku di perpustakaan saat itu. Namun, darimana dia mendapatkan nomorku? Penasaran, aku pun bertanya; Kak Ardino, dapat nomor Adara dari siapa, ya?
Langsung dua centang biru. Dia mengetik balasan. Katanya, dia meminta pada salah satu teman sekelasku. Begitu ternyata. Sejujurnya aku kurang suka jika seseorang memberikan nomorku pada orang lain tanpa seizinku. Tapi, ya sudahlah, lagi pula aku sudah kenal Kak Ardino, baru kenal maksudnya.
Pindah ke dalam kamar, akhirnya aku chattingan dengan Kak Ardino. Dia ternyata asyik juga, tidak sekaku yang aku pikirkan.
Satu jam berlalu, waktu memang suatu yang tidak terduga. Mataku sudah terkantuk, tetapi jantungku dikagetkan—tepatnya berdebar kencang—dengan chat lain yang baru masuk. Dari orang yang kutunggu dari tadi; Kak Arven.
Kak Arven: Tidur sana! Oh iya, selamat malam Adara;)
Sudut bibirku tertarik. Ketika hendak membalas, sedih sekali, dia sudah tidak online lagi. Meskipun begitu, tetap kukirim balasan; Siap, Kak!
Mengakhiri dengan Kak Ardino, aku pun mematikan ponselku. Tak sabar ke sekolah, bertemu Kak Arven, walau di sekolah ada banyak cobaan yang melayang untukku.
Bukannya lupa perihal Ayah, aku hanya mencoba menimpanya dengan hal-hal bahagia saja. Itu lebih baik, biarpun menyulitkan sewaktu-waktu.
***
Setiap kali mematut diri di depan cermin, aku jadi ingat Ayah, aku jadi ingat bahwa aku adalah anak seorang pembunuh. Betapapun, tentang Ayah, bagaimana dia membunuh—yang satu korbannya sempat kusaksikan—tidak mudah tersisih dari memoriku, membebaniku.
Kutarik napas panjang. Seragam sekolah sudah rapi membungkus tubuhku.
"Adara, cepat turun! Ada Arven di bawah."
Refleks, aku menoleh, padahal pintu tertutup dan Ibu ada di luar kamar. Kemudian terdengar suara langkahnya yang perlahan-lahan menjauh, dia kembali turun setelah memanggilku. Dari ucapannya, sepertinya dia mengenal Kak Arven. Tidak perlu kutanyakan lagi bagaimana Ibu kenal, karena seperti yang diberitahu Kak Arven, kalau rumahnya selang empat rumah dari rumah ini. Bisa saja Ibu juga kenal dengan keluarga Kak Arven.
Meraih tas di atas kasur, aku pun bertolak ke bawah. Ternyata Kak Arven ada di meja makan, pasti Ibu mengajaknya. Benar sekali, ketika aku duduk berhadapan dengannya, Ibu juga mengajaknya untuk sarapan bersama. Namun, katanya dia sudah sarapan. Maka dari itu, Ibu hanya menyuruhnya minum segelas susu, untuk itu dia tidak menolak. Di meja makan, hanya ada Ibu, Luna, aku, dan Kak Arven. Sepertinya ayah tiriku sudah duluan berangkat.
Ketika dia menatapku, aku tersenyum tipis padanya dan terbalas. Kala aku sarapan, Kak Arven berbincang dengan Ibu yang sedang menyuapi Luna. Ternyata benar, Ibu memang sudah kenal dengan Kak Arven. Ibu ramah dan banyak tersenyum kala berbincang dengannya, berbeda kala hanya berhadapan denganku.