"Beneran tuh cewek dekat sama Kak Arven?"
"Kecentilan banget si monster itu!"
"Kok Kak Arven mau sih berangkat sekolah sama si Adara?"
"Gue jijik banget lihat si cewek itu!"
Satu, yang harus kulakukan sekarang adalah mencoba terbiasa dengan cacian itu. Dua, lebih baik aku menulikan telingaku dan tak acuh saja. Seperti tebakanku, baru saja memasuki kelas langsung dihadiahi kata-kata yang tidak enak didengar itu. Duduk di tempatku, sebuah tepukan mendarat di bahuku. Tepukan seperti menenangkan.
"Gak usah dipedulikan," ucap Fidelya.
Aku tersenyum seadanya padanya. Tidak usah memedulikan, memang itulah yang kulakukan sekarang. Bersikap 'bodo amat' juga membantu banyak.
"Makasih," kataku pada Fidelya.
"Udah cukup bilang makasih. Berapa kali sih lo bilang itu terus?" protesnya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk tangan kanannya.
Aku terkekeh, memang tidak lucu. Tapi, aku senang akhirnya ada seseorang yang bisa kuajak bicara di kelas. Oh iya, hampir saja aku melupakan sesuatu. Sejak Fidelya duduk denganku, teman-teman lainnya seperti juga menjauhi Fidelya.
"Kayaknya mereka juga ngejauhin lo gara-gara lo duduk sama gue. Apa ... enggak masalah? Nanti lo gak punya teman lagi gimana?" tanyaku.
Fidelya melihat lurus ke arah papan tulis. Lalu menjawab, atau tepatnya balik bertanya, "Gak punya teman? Terus lo apa?"
"Ha?"
Pandangan Fidelya teralih padaku. "Lo kan teman gue."
Betul juga. Sekarang kami berteman. Wah, Fidelya dan sepupunya itu, Kak Arven maksudku, seperti ada sisi yang sama dari mereka berdua. Mereka sama-sama terlihat dewasa, menurut pandanganku.
***
"Mau ke kantin bareng?" tanya Fidelya begitu bel istirahat berbunyi.
Tidak langsung kujawab. Pasalnya, aku sudah mengiyakan kala Kak Arven menyuruhku menemuinya di lapangan basket. Lagi pula, dari tempo hari, alasan membeli banyak cokelat, juga karena tidak ingin ke kantin. Aku menggeleng pada Fidelya. Apa ... kuajak saja dia bersamaku?
"Gue mau ketemu sama Kak Arven. Lo mau ikut?"
Fidelya tampak ragu menjawab, terbukti ketika dia terbungkam sesaat, kemudian dia menggeleng. "Ya udah, gue sama yang lain aja, ya."
Aku mengangguk, sebetulnya cukup tidak enak menolaknya. Tetapi aku sudah duluan dengan Kak Arven.
Aku keluar dari kelas kala semuanya sudah mendahuluiku dengan tangan kanan menggenggam dua cokelat dan yang kiri memegang tumbler berisi air putih. Tiba di tempat yang dipinta Kak Arven, aku berhenti di ambang pintu. Pikirku hanya ada dia di sana. Salah. Ada puluhan siswa di dalam sana, ada yang bermain basket, berdiri sambil berbincang di tepi lapangan, sisanya duduk di tribune. Niatku masuk hilang sudah. Pasalnya, jika aku masuk, hanya aku satu-satunya cewek di sana. Sejauh netraku melirik, Kak Arven sedang berbicara di tepi sana.
Saat aku berbalik dan hendak pergi, sebuah tangan menahan di bahuku. Aku agak tersentak karena seseorang muncul tiba-tiba. Bukan Kak Arven, tapi Kak Fabian. Dia tersenyum tipis padaku.