In Silence, In Darkness.

Wardatul Jannah
Chapter #9

08 - Mati!

Berangkat sekolah dengan Kak Arven, pulang pun akan dengannya. Aku tidak terlalu terburu-buru meninggalkan kelas, menghindari berdesakan dengan mereka yang cepat keluar kelas. Di lorong-lorong sekolah tidak terlalu ramai lagi.

"Adara!"

Seruan itu membuatku menoleh, Kak Ardino ternyata. Dia menyamakan langkahnya denganku.

"Pulang sama siapa? Mau bareng gue, gak?" tawarnya.

Langsung kugeleng, tentu saja. "Maaf, Kak. Adara pulang sama orang lain."

Dia manggut-manggut. "Telat, ya. Ya sudahlah. Padahal pengin pulang sama lo."

Aku hanya tersenyum seadanya. Di parkiran, kami berpisah. Ternyata Kak Arven sudah menungguku, dia duduk di atas motornya sambil memperhatikanku lekat-lekat, aku gugup dibuatnya.

"Sama siapa tadi?" Kak Arven bertanya sambil menyerahkan helm padaku.

"Kak Ardino." Aku menerima helm dari tangannya.

"Kalian dekat, ya?" tanyanya lagi.

"Kami baru kenal beberapa hari ini, sih. Juga pernah chattingan. Enggak terlalu dekat juga sih," jelasku.

Kak Arven manggut-manggut. "Karena enggak terlalu dekat, jadi, jangan jadi dekat, ya?"

"Ha?" Aku sadar raut wajah Kak Arven terlihat seperti kurang suka. "Kenapa gak boleh dekat, Kak?"

"Dekat sama aku aja," sahutnya. "Ya udah, ayo!"

Aku mengangguk. Lalu duduk di belakangnya. Motor itu membawa kami keluar dari perkarangan sekolah. Sepanjang jalan, kami hanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku, memikirkan tentang Kak Arven. Ucapannya sebelum kami bergabung di jalan raya. Dia tampak bagai kurang suka bila aku menjadi dekat dengan cowok lain. Aku heran. Apa dia cemburu?

Namun, tunggu dulu. Kami tidak punya hubungan apa-apa. Tindakannya akhir-akhir ini, seperti memberi tahuku kalau dia menyukaiku. Ah, atau hanya pendapatku saja demikian. Bagaimana kalau salah? Bagaimana kalau dia cuma mau berteman denganku?

Tidak boleh. Aku tidak boleh kegeeran. Nanti aku malah patah hati kalau saja dia sebenarnya tidak suka padaku. Tetapi, jika dia memang tidak suka, berarti aku sudah patah hati dong. Aku mulai menyukainya. Aku menepuk jidatku, seperti merutuki diriku sendiri.

"Kamu kenapa?"

Pertanyaan Kak Arven menyadarkanku kalau laju motor sudah dia hentikan, telah sampai di depan rumahku. Cepat sekali atau karena aku asyik melamun. Kuturun dari motornya.

Lihat selengkapnya