Hari ini, sama seperti tempo hari, berangkat sekolah bersama Kak Arven. Bedanya, kami berpisah di parkiran. Sebabnya, aku melarangnya untuk mengantarku sampai kelas. Meski begitu, ada saja yang membuatku berdebar karena dia. Tepatnya sebelum kami menuju kelas masing-masing, dia mengacak-acak rambutku gemas. Kemudian berucap, "Belajar rajin-rajin, ya. Jangan banyak ngelamun di kelas. Kalo gurunya gak masuk, jangan mikirin yang sedih-sedih. Mikirin aku aja. Ya udah, see you."
Perihal kertas berisi tulisan menakutkan yang kudapatkan kemarin, aku masih memikirkannya. Aku memang belum menceritakan itu pada Kak Arven.
Sekolah belum ramai, soalnya aku dan Kak Arven berangkat lebih awal ketimbang kemarin karena dia piket kelas hari ini. Di koridor utama sekolah, aku bertemu dengan Kak Ardino. Dia menyamakan langkah denganku, padahal setahuku kelasnya tidak searah denganku. Katanya, dia ingin mengantarku sampai depan kelas. Sama saja seperti Kak Arven. Entah kenapa dua cowok itu tertarik mengantarku, mengherankan. Sedangkan aku bisa berjalan sendirian, dulunya juga begitu, kecuali bertemu dengan teman-teman sekelas dan masuk barengan.
"Lo masih mikirin yang kemarin?" Kak Ardino menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
Aku mengangguk. "Keterlaluan banget, Kak. Kayaknya yang nulis itu benci banget sama Adara."
Kak Ardino menepuk-nepuk bahuku, seperti menenangkan. "Udah, tenangin pikiran lo. Pokoknya kalo ada hal-hal aneh lain yang terjadi, ceritain ke gue ya. Hari ini pasti baik-baik saja. Pikirin hal yang positif aja."
"Makasih, Kak."
"Ya udah, gue pergi, ya?" ucap Kak Ardino begitu langkahku sudah berada di dekat ambang pintu kelas.
Kuanggukkan kepala. Memasuki kelas, hanya ada tiga siswi yang kudapati. Sudah kubilang, masih awal. Mencapai meja, aku ditinggal sendirian di kelas, ketiganya keluar dari ruangan ini. Duduk dengan tangan berselancar bersama ponsel menjadi pilihan agar tidak bosan, sebelum bau yang tidak enak menyapa indera penciumanku. Tanpa sengaja, netraku menemukan sesuatu di kolong meja. Kotak kado berukuran kecil.
Menaruh ponsel di atas meja, aku mengambil kotak kado warna merah muda dengan pita warna ungu itu. Apa kado ini untukku? Pikirku. Ketika membukanya, sontak tanganku langsung menjatuhkannya ke bawah. Mataku terbelalak, tanganku kini menutup mulutku agar jeritanku tidak menarik perhatian orang-orang. Refleks kaki kunaikkan ke atas tempat duduk. Dari luar kotak kado itu tampak cantik, dalamnya mengerikan. Isinya adalah tiga bangkai anak tikus ditambah percikan cairan kental warna merah yang tidak salah adalah darah. Jadi, dari situlah bau tidak enak berasal.
Kuedarkan pandangan, belum ada satu pun yang memasuki kelas. Napasku memburu, jadi kucoba netralkan. Jika aku membiarkan kotak menjijikkan ini tetap di sini, pasti akan menjadi pusat atensi teman-teman nanti. Pasti akan ada tatapan mengejek, atau mengatakan kalau ini pantas untukku. Selain menyingkirkan ketakutanku, aku juga perlu menyingkirkan hal menjijikkan ini. Aku kembali menutup kotak itu dengan perut mulai mual.
Tujuanku sekarang adalah tempat pembuangan sampah yang ada di belakang sekolah. Bukan alternatif yang tepat untuk membuangnya di tempat sampah kelas atau yang ada di koridor. Langkahku buru-buru. Di sana, aku melemparinya kasar, sehingga kotak kado itu terbuka lagi. Mengabaikan itu, aku ingin cepat-cepat pergi. Baru lima langkah, kakiku terasa lemas seperti tidak sanggup lagi berjalan. Dan hatiku menjadi sesak, mataku mulai buram dengan air mata.
Aku pernah membaca artikel, ketika seseorang sedang sedih atau galau, kenangan menyedihkan akan terkumpul atau teringat dan membuat orang itu semakin sedih lalu berakhir menangis. Ada betulnya juga, alasannya, itulah yang kulakukan sekarang. Di dekat tembok, aku melipat tanganku di sana, kemudian mataku yang terpejam menempel di lenganku seperti anak kecil yang menutup mata di pepohonan ketika bermain petak umpet. Aku terisak. Dadaku terasa sesak.
Siapa yang sejahat ini padaku? Apakah orangnya sama dengan yang menaruh kertas itu dalam tasku? Kenapa dia melakukan itu? Apa salahku? Bukan guncangan, bukan hal menakutkan, bukan hal yang menyedihkan. Aku ingin kedamaian. Segera.