Mengenai teror itu, kotak kado menjadi yang terakhir sampai saat ini. Aku sangat berterima kasih, Kak Arven begitu perhatian. Sampai-sampai membuatku salah tingkah beberapa kali. Membuatku juga merasa senang. Seperti pagi ini, hari Minggu tepatnya. Dia mengajakku ke suatu tempat. Aku mengenakan pakaian kasual, lalu rambutku kugerai dengan bebas. Wajahku kupoles sedikit bedak serta bibirku kuberi pewarna bibir agar tidak tampak pucat.
Mobil putih itu sudah terparkir di halaman rumah, pasti Kak Arven. Memasukinya, awalnya kupikir hanya dia saja, nyatanya ada Fidelya di belakang duduk bersebelahan dengan Kak Fabian. Lalu yang paling belakang ada Kak Elvan sendirian. Tidak terpikir olehku kalau mereka akan ikut, tapi tak apa. Aku senang dengan kehadiran mereka, menjadi lebih ramai hingga tidak menempatkanku dalam kegugupan jika hanya bersama Kak Arven.
Aku duduk di sebelah Kak Arven, sadar dia menatapku beberapa saat sebelum tangan Kak Fabian dengan sengaja menjewer telinganya.
"Apa-apaan sih lo?!" kesal Kak Arven pada si pelaku.
"Mata lo kok kek gitu natap Adara? Jangan-jangan lo ..." Kak Fabian menggantung ucapannya sambil tersenyum menggoda. "Lo su—"
"Bisa diem gak lo?!" ketus Fidelya yang langsung membuat Kak Fabian kicep.
Aku dan Kak Arven terkekeh karena itu.
"Gue merasa kayak obat nyamuk di belakang, sendirian. Sedih amat! Tau gitu gue ajak my girlfriend," keluh Kak Elvan.
Kak Arven mulai melajukan mobil, tapi keluar dari perkarangan rumah terlebih dahulu.
"Emangnya lo punya cewek? Ada juga ya yang mau sama lo?" canda Kak Fabian.
"F*ck!" kesal Kak Elvan. "Gini-gini gue punya cewek juga."
"Maaf, gue pikir gak ada yang mau sama lo." Kak Fabian berbicara dengan santainya.
Selama di perjalanan, mereka berdua paling ribut. Fidelya yang tampak tidak tahan, kulihat menyumpal telinganya dengan headset. Kak Arven fokus mengemudi, dan aku duduk tenang di sebelahnya sambil menguping pembicaraan Kak Fabian dan Kak Elvan.
"Eh, Van. Lo tau gak?" Kak Fabian mulai memancing keriuhan.
"Apaan?" balas Kak Elvan.
"Di antara kita nih, yang gak pernah pacaran cuma si Arven."
"Iya, kasian dia. Gak berani bilang sama cewek yang dia suka."
"Pengecut banget! Hahahaha."
Kak Arven tidak pernah pacaran? Kak Arven lagi suka sama seseorang? Oh tidak, kenapa jantungku menggila mendengar ucapan mereka? Kenapa hatiku mengatakan kalau yang Kak Arven suka adalah aku hanya gara-gara perhatiannya padaku? Ah, aku terlalu percaya diri.
"Bisa diam gak kalian?" tegur Kak Arven masih fokus menatap ke depan.
"Gak bisa nih, Bro! Asik banget ngegosipin lo," sahut Kak Fabian. "Eh, Adara!"