In Silence, In Darkness.

Wardatul Jannah
Chapter #12

11 - Protect Me

Selama ada kuota, jarang absen membuka aplikasi Instagram. Sambil rebahan, malam ini ketika menyalakan ponsel, notifikasi dari aplikasi tersebut mengambil atensiku. Netraku tidak mungkin salah lihat, Kak Arven meng-upload foto—setengah jam yang lalu—yang berdua denganku di pantai tadi dengan caption bentuk matahari. Dia juga menandaiku di postingannya itu. Dasar Kak Arven, dia hobi sekali membuatku senyum-senyum sendiri dan kepercayaan diriku menyapa lagi; tentang menduga dia juga menyukaiku.

Aku menekan love untuk postingan itu tanpa meninggalkan komentar, tapi aku juga mengintip kolom itu. Sudah ada lima belas komentar. Ada yang menulis 'ciee...' atau paling banyak menanyakan apa hubungan kami. Beberapa detik kemudian, ketika aku masih melirik foto kami berdua itu, komentar bertambah dari Kak Fabian yang menuliskan 'ekhem'. Tak lama, aku mendapat notifikasi kalau Kak Fabian men-follow-ku. Menunggu sekitar dua menit, baru aku mengikutinya kembali.

Malam ini, aku tidur dengan senyum di wajahku.

***

Barisan telah rapi. Pemimpin upacara mulai memimpin. Sadar, sepenuhnya sadar, kala melirik ke deretan siswa kelas dua belas, aku memergoki Kak Arven yang curi-curi pandang ke arahku. Beberapa kali dia tertangkap basah.

Hingga kepala sekolah berbicara di depan sana, aku tidak bisa fokus. Ketika melihat lagi ke arah Kak Arven, dia juga menatapku. Bedanya kali ini dia tidak mengalihkan, kami saling beradu tatap sebelum akhirnya sama-sama tersenyum. Lalu dia membuat gestur agar aku kembali fokus, biar tidak kena hukuman dari guru yang ngawas di belakang.

***

Kantin sepi? Mustahil. Kecuali jika sekolah sedang libur atau pada jam-jam yang tidak memungkinkan seperti jam pelajaran. Meja-meja sudah terisi, sisa beberapa saja. Stand-stand penjual makanan ramai dengan antrean. Sekarang aku berani ke kantin, ditambah aku tak lagi sendirian. Aku pergi bersama Fidelya.

Sampai di kantin kami memang berpisah karena dia pergi ke penjual siomay, sedangkan aku ke penjual roti bakar. Namun, di tengah jalan, tanpa sengaja seseorang menabrakku. Ternyata Rina, dia bersama teman-temannya. Dia tersenyum sinis setelah mengedar. Tiba-tiba, dia pura-pura terjatuh.

"Adara! Kenapa lo dorong gue?!" teriaknya dengan suara keras.

Apa-apaan ini? Jelas-jelas tadi dia yang menabrakku dan sekarang pura-pura terjatuh di sana. Suasana jadi membingungkan, ketika seluruh tatapan pengunjung kantin tertuju ke arahku.

"Hei, lo mau celakain Rina, ya? Jahat banget sih lo!" tuding salah satu temannya Rina.

"Maksud kalian apa?" heranku. "Kenapa jadi gue yang salah? Gue gak ngelakuin apa-apa!"

Rina bangkit berdiri, dia mendorong bahuku hingga aku melangkah mundur. "Jelas-jelas lo ngedorong gue biar gue celaka, kan?! Gue tau lo benci sama gue. Tapi, lo benar-benar mau bunuh gue? Memang ya, lo keturunan psikopat! Lo punya darah psikopat!"

Semua sangat membingungkan. Rina memojokkanku, seolah-olah aku bersalah.

"Cukup! Gue enggak ngelakuin apa-apa ke lo! Kenapa lo--"

"Lo yang cukup!" Rina menyelaku, seakan-akan tidak memberiku waktu untuk berbicara.

Lihat selengkapnya