In Silence, In Darkness.

Wardatul Jannah
Chapter #13

12 - Rainy Day

Sebab Kak Arven sudah meminta izin, aku dan dia diperbolehkan pulang. Hari tidak seterik tadi pagi. Gumpalan awan gelap terlihat di atas sana. Saat ini, aku berdiri di balkon kamarku. Tadi, Kak Arven mengantarku duluan, baru setelah itu dia pulang ke rumahnya. Suara klakson serta lambaian tangan membuatku menoleh ke asal suara. Kak Arven bersama motornya sudah ada di halaman rumah. Sebelumnya Kak Arven berkata kalau dia akan kembali, ingin mengajakku ke suatu tempat. Dia mengenakan kaus hitam polos, rambutnya ditata ke atas hingga memperlihatkan jidatnya.

"Adara, gak usah bengong! Cepetan turun!" teriak Kak Arven diiringi senyum manisnya.

Aku mengangguk, juga memberi gestur iya. Berlari kecil keluar kamar, menuruni tangga, dan menuju luar rumah. Jarak terpangkas, baru saja hendak menyentuh helm yang diberikan Kak Arven, ternyata hujan lebih sigap. Gazebo menjadi pilihan, alasan utama paling dekat. Kami berlari ke sana sebab hujannya deras. Kami duduk bersila, bersebelahan.

"Yah, gak jadi jalan-jalan." Kak Arven melihat percikan hujan di dedaunan. Dia tampak kecewa, tapi itu sebelum tatapannya berpindah padaku. Senyum penuh artinya kini mengulas. "Tapi, gak apa-apa. Soalnya terjebak di sini sama Adara."

Tidak berani beradu tatap dengannya, kulihat ke arah lain. Pipiku terasa merona. Mengingat pelukannya tadi, aku malu dibuatnya, sekaligus suka dekapan hangat itu. Eh. Kupeluk lutut ini karena sejuk menghampiri, walau begitu bau hujan sekaligus suasananya tidak buruk.

"Adara," ujarnya.

"Kenapa, Kak?"

Pandanganku balik padanya. Tidak langsung dijawab, dia malah beringsut mendekat. Kakinya dia selonjorkan. Sedikit saja aku miring ke arahnya, lenganku akan menempel dengannya.

"Dingin?"

Aku mengangguk, berbohong tidak berguna, dia pasti akan tahu. Terbukti bagaimana aku memeluk lututku. Apa kutawarkan saja dia masuk ke rumah dengan menerobos hujan? Nanti aku bisa membuatkan minuman hangat untuknya sekaligus rasa terima kasihku padanya karena sudah melindungiku tadi.

"Masuk ke rumah aja yuk, Kak!" ajakku.

"Di rumah ada orang?"

Aku menggeleng.

"Berarti jangan. Di sini aja. Kalo kita masuk ke rumah, dalam suasana hujan kayak gini, bahaya."

"Bahaya kenapa, Kak? Apa bahayanya?" tanyaku tidak mengerti.

Dia tertawa kecil. "Polos apa pura-pura enggak tau?"

"Ha?"

"Adara ... kamu kedinginan terus lagi hujan kayak gini. Aku itu cowok normal. Jadi, akulah si bahaya itu kalo di rumah hanya ada aku sama kamu. Aku bisa bahaya, loh. Kalo di sini, terbuka dan di sana," Kak Arven menunjuk jalan raya dengan suara sesekali dia besarkan agar tidak tertelan hujan, "ada mobil lalu-lalang. Terus ada warung di seberang. Ada orang lain. Kalo cuma ada kita di ruangan tertutup, setan makin gencar. Aku gak mau sampai khilaf. Aku mau jagain kamu."

Serius, mendengar penjelasannya aku merutuki diri sendiri sekaligus menyesali karena ketidakmengertianku tadi, sehingga bertanya padanya. Kenapa rasanya aku ingin membenturkan kepalaku pada tiang gazebo ini? Sial, kau bodoh sekali Adara! Kenapa tadi tidak terpikirkan sampai itu?

Aku tersenyum kikuk sambil menyelonjorkan kakiku.

"Kalo gini aja, gak apa-apa, kan?" Kak Arven menggosok-gosok tangannya. Setelah hangat, dia menggenggam tanganku. "Biar kamu gak tambah dingin."

Gila, dia membuat jantungku gila. Tidak bisa kuhitung berapa kali dalam sehari jika aku sedang bersamanya, kerap kali kurasakan itu. Apa mungkin itu hobinya? Dasar Kak Arven!

Lihat selengkapnya