Kutatap lurus ke depan. Ada beberapa motor yang dikendarai siswa-siswi berseragam putih abu-abu, sama sepertiku. Waktunya berangkat ke sekolah. Hari ini berbeda, aku dijemput Kak Elvan dengan mobilnya. Kak Arven sedang kurang sehat, demam tepatnya, jadi dia tidak ke sekolah hari ini. Dia tidak memperbolehkanku berangkat sendiri, jadi dia mengutus Kak Elvan. Kalau menyuruh Kak Fabian, tidak ada dalam niatnya. Katanya kalau Kak Fabian yang menjemputku, nanti aku malah digodain. Jadi, yang dia percayakan hanyalah pada Kak Elvan.
Omong-omong, kemarin dia pulang setelah hujan reda. Semalam juga hujan, aku bertanya apakah dia main hujan sehingga demam. Dia menjawab tidak.
Selama di perjalanan, syukurlah aku dan Kak Elvan tidak canggung. Aku bertanya bagaimana dia bisa jago berbahasa Inggris, dia menjawabnya dan memberikan tips padaku. Kemudian dia juga bercerita singkat pengalaman pertamanya ikut debat. Sampai di parkiran, aku turun duluan dan bergegas menuju kelas.
"Eh, dia pacaran sama Kak Arven, ya?"
"Kayaknya dia dekat sama Kak Fabian, ya?"
"Gue suka sama Arven. Kesel banget tau gak si monster itu malah dilindungi sama si Arven kemarin."
"Palingan Kak Arven cuma kasian sama tuh cewek."
"Masa kasihan sampai rela bajunya jadi kotor?"
"Ganjen banget tuh psikopat!"
Langkah kupercepat, malas sekali untuk mendengar atau meladeni bisik-bisik sekaligus ucapan terang-terangan itu. Tiba di kelas, biasa menerima tatapan itu.
"Gue heran, kenapa Kak Arven sampai lindungi dia?"
"Kemarin gue lihat, Kak Fabian sama Kak Elvan juga marah banget."
"Tuh cewek gak pantas banget dekat sama mereka."
Aku menaruh tasku ke atas meja lalu kududuk di tempatku bertepatan dengan Fidelya berucap, "Gak usah dipedulikan. Mereka iri aja sama lo karena lo dekat sama si Arven dan kawan-kawannya. Lagian nih, gue sebagai sepupunya Kak Arven, ngedukung kok kalo kalian jadi lebih dekat."
"Makasih, Fidelya. Gue juga berusaha buat enggak peduli sama ucapan mereka."
"Lo tau sesuatu gak?"
Kugelengkan kepalaku. Fidelya terlihat senang dengan sesuatu yang diketahuinya itu. "Tentang apa?"
"Si Rina itu bego banget. Di kantin kan ada CCTV, dan terbukti kalo dia yang duluan cari masalah sama lo. Karena itu dia diskors selama tiga hari gara-gara udah bikin keributan."
"Wah, beneran?" Aku memastikan. Senang mendengarnya, dia sudah keterlaluan padaku. Dengan itu, dia mendapat pelajaran kalau yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan.
"Iya, benar. Pantas buat dia renungin kesalahannya. By the way, lo udah baik-baik aja, kan?"
"Em. Gue gak apa-apa kok. Lagian Kak Arven juga lindungin gue."
***
Pulang juga dengan Kak Elvan. Syukurlah, tak ada teror yang kudapat hari ini di sekolah. Sampai di rumah aku langsung berganti seragam. Pas sekali Ibu memasak banyak sup ayam, katanya itu bagus untuk orang yang sedang demam. Jadi, aku bertanya apa Kak Arven mau makan sup ayam. Dan dia mau, jadilah aku akan memberinya. Kumasukkan dalam wadah plastik yang bertutup, lalu dalam tote bag.
Aku belum pernah ke rumah Kak Arven, tapi kurasa aku akan tahu tanpa menanyainya. Dia pernah bilang kalau rumahnya selang empat rumah. Kugayuh sepeda yang ada di garasi ke sana, jika tidak salah punya ayah tiriku, sebelumnya aku sudah meminta izin sama Ibu dan dibolehkan.
Rumah berlantai dua dengan desain minimalis, tidak salah lagi, ini rumah Kak Arven. Terbukti dengan hadirnya mobil yang menjemputku hari Minggu itu di pelataran rumah. Berdiri di depan daun pintu masuk yang tertutup rapat, kenapa aku jadi gugup ya? Kutarik napasku panjang sebelum menekan bel. Tak lama, dibukalah pintu oleh seorang wanita jika tebakanku benar seumuran dengan ibuku. Pasti Mamanya Kak Arven.