Senang sekali rasanya, setelah tempo hari tidak berangkat dengannya, sekarang aku duduk di belakangnya lagi. Begitu sampai di parkiran sekolah, aku turun dari motor Kak Arven. Lalu menyerahkan helm padanya. Dia mengusap puncak kepalaku seraya berucap, "Belajar yang rajin. Gak usah dengerin hinaan mereka. Semangat!"
Kak Arven memberiku gestur semangat. "Siap, Kak!" balasku antusias. Usai itu melambaikan tangan, aku duluan bergegas pergi.
Jujur saja, dengan kedekatan ini, aku berharap lebih padanya. Dia juga terus-terusan membuatku baper. Jika pernyataan Fidelya mengenai rasa suka Kak Arven padaku adalah benar, kapan dia akan mengatakan langsung padaku?
"Pagi Adara."
Baru saja kakiku sampai di koridor utama sekolah, Kak Ardino yang juga dari parkiran, menyapaku. Langkahnya kini sama sepertiku.
"Pagi juga," balasku padanya. Dua hari terakhir ini aku jarang berkomunikasi dan bertemu dengannya.
"Gimana? Keadaan lo baik-baik aja?"
Aku mengangguk. "Alhamdulillah. Sekarang lagi baik. Semoga tetap baik."
"Syukurlah." Kak Ardino tersenyum padaku. "Gue anterin lo sampai kelas, ya?"
"Eh, gak apa-apa." Kenapa sih Kak Ardino dan Kak Arven suka mengantarku sampai kelas? Mereka mengherankan.
"Tanggung. Kelas lo udah dekat."
"Kenapa sih Kak Ardino mau anterin gue sampai kelas?" Aku mengutarakan apa yang ada di kepalaku.
"Biar lo aman." Dia tersenyum lagi seraya menepuk pundakku beberapa kali.
"Makasih, Kak." Kubalas senyumnya.
"Sama-sama."
"Semoga hari ini menyenangkan," ucap Kak Ardino kala sudah sampai di koridor kelasku.
"Kak Ardino juga, semoga menyenangkan."
Dia melambaikan tangan padaku sebelum undur diri dari depanku. Syukurlah, meskipun ada banyak yang menjauhi dan membenciku, setidaknya ada beberapa yang mau di sisiku. Mereka memberiku kenyamanan, dan hangatnya pertemanan.
Fidelya belum datang. Kududuk sendirian. Kelas juga belum terlalu ramai. Sekitar tujuh belas menit lagi bel masuk pelajaran pertama akan bersuara. Bosan, juga tak berniat berselancar dengan ponsel. Jadi, tangan kulipat di atas meja. Mata kupejamkan. Ketimbang mengingat sesuatu yang buruk, lebih baik yang bagus-bagus saja. Contohnya senyumnya Kak Arven, mendamaikan.
"Eh, Kak Arven ngapain ke sini?"
"Beneran Kak Arven?"
"Iyalah, terus siapa? Setan ganteng gitu?"
"Hehe."
"Gue bisa tebak tujuan dia ke sini."
Sayup-sayup aku mendengar bisik-bisikan mereka yang menyebut nama Kak Arven. Apa maksudnya Kak Arven ke sini? Ah, sudahlah, pasti mereka sedang ngegosipin Kak Arven. Pasalnya, kutahu ada beberapa teman sekelasku yang menyukai Kak Arven. Jadi, mata ini lanjut terpejam saja, mumpung masih memiliki waktu.
"Gila, Kak Arven bikin gue patah hati!"
"Kenapa harus sama tuh cewek?"