In Silence, In Darkness.

Wardatul Jannah
Chapter #17

16 - Sorry

Pagi ini, jangan jemput aku ya, Kak.

Begitulah isi chat-ku untuk Kak Arven sebelum aku mengenakan seragam sekolah. Seharusnya, bukan hanya pagi ini. Seharusnya, untuk seterusnya jangan menjemputku lagi. Seharusnya, itulah yang mesti kukatakan padanya. Namun, tidak terlaksana. Kak Arven bertanya alasan aku tidak berangkat dengannya, tak kubalas. Hanya kubaca saja.

Ayah tiriku ada kelas pagi, jadi pas sekali, dia pun mau mengantarku ke sekolah walaupun dalam perjalanan kami hanya terdiam. Tak apa. Dengan begitu aku bisa menghindari Kak Arven. Sampai di sekolah, aku buru-buru ke kelas, takut berpapasan dengannya. Napasku terasa lebih cepat. Duduk di tempat, kuatur napas sebelum melirik ke arah ponselku. Sekitar sepuluh chat dari Kak Arven yang belum kubaca, sepertinya dia penasaran kenapa aku tidak membacanya padahal aku sempat online. Dia juga meneleponku berkali-kali di aplikasi warna hijau itu.

"Eh, gimana tadi malam?" tanya Fidelya yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahku. Benar-benar tidak sadar akan kedatangan gadis itu.

Tak langsung kujawab, semalam adalah makan malam yang buruk. Kurangkai kata dulu yang tepat, sebelum memberitahu Fidelya.

"Ya, begitulah. Mama Kak Arven baik." Tentang semalam, tak ada niat untuk kuceritakan pada siapa pun, bahkan pada Kak Arven. Cukup aku, orangtua Kak Arven, dan Tuhan yang tahu.

"Wih, kayaknya udah direstuin, ya?"

Hanya kubalas dengan senyuman paksa, harapku tak disadarinya.

"Adara!" Seruan di ambang pintu itu membuatku memandang ke arah sumber suara. Kak Arven tampak seperti orang yang baru usai berlari, napasnya agak ngos-ngosan. Dia mendekat ke arahku, dan berdiri tepat di depan mejaku.

"Kenapa cuma dibaca? Kamu aneh dari semalam. Kenapa gak bolehin aku jemput kamu? Kenapa kamu gak balas chat aku?" tanyanya. "Adara, kamu hindarin aku?"

Kugelengkan kepalaku. Sial, aku ingin menangis pas melihat wajah khawatirnya. Aku sangat menyukainya, tapi harus menyerah atas perasaanku ini. "Maaf, Kak. Tadi aku dianterin sama ayah tiriku. Bisa aja besok kayak gitu juga. Jadi, Kak Arven gak perlu jemput aku lagi."

Kak Arven seperti kehilangan kata-katanya untuk membalasku. Kutundukkan kepalaku, lalu berpura-pura sibuk dengan ponsel. Sebenarnya, belum tentu aku akan berangkat dengan ayah tiriku besok. Itu hanya kujadikan alasan agar dia tidak menjemputku.

"Baiklah, aku ke kelas dulu ya, Ra." Suaranya begitu pelan. Dia berlalu dari hadapanku dengan kurang semangat.

Maaf, batinku. Semua bukan keinginanku. Jika ini yang terbaik baginya, aku harus rela.

"Gue tau, pasti kalian lagi gak baik-baik aja. Pasti ada sesuatu yang terjadi." Fidelya menebak.

"Ya, begitulah."

Pembicaraanku dan Fidelya hanya sampai di situ. Kami tak bersuara lagi, hingga bel masuk berbunyi. Tatapku memang ke papan tulis, sok-sokan mengerti apa yang diajari guru di sana. Padahal kepalaku penuh dengan Kak Arven, pikiran tentangnya susah disingkirkan. Mengingat wajahnya ketika tersenyum, dan juga sorot teduhnya, akan kurindukan.

***

Jam pelajaran kulalui dengan penuh lamunan, sempat kena tegur sekali, tapi akhirnya tetap berlanjut lagi. Hingga jam istirahat pun datang. Tak ada niat jajan di kantin, baik bersama Fidelya atau sendirian. Kalau bersama Kak Arven dan teman-temannya, menjadi larangan yang kubuat sendiri.

Rencanaku, menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan saja sambil memakan biskuit yang kubawa dari rumah. Tak lupa tumbler berisi air putih agar tak kehausan. Ibu punya banyak pasokan biskuit untuk Luna, aku memintanya satu, yang rasa cokelat. Ya, karena memang menyukai rasa itu.

Lihat selengkapnya