Malam ini, Ibu mengajakku makan malam di luar bersama keluarga kecilnya itu. Meskipun sampai sana kehadiranku seperti tidak dianggap. Maksudku mereka sibuk sendiri, tepatnya berbicara dengan Luna. Kadang diselingi tertawa. Tapi, setidaknya mereka sudah mau mengajakku, tidak menyisakanku di rumah sendirian.
Yang kulakukan hanyalah makan, kemudian berpura-pura sibuk dengan ponsel. Iseng, aku melihat-lihat Instagram Kak Arven. Masih ada fotoku bersamanya di sana. Melihat itu, aku jadi rindu dia. Menyesakkan emang. Namun, apalagi yang bisa kubuat?
Pulang ke rumah, aku belajar sekitar lima belas menit. Lalu sebelum tidur yang kulakukan adalah menatap foto-fotoku dan Kak Arven saat ke pantai hari itu. Senyumnya, dia benar-benar membuatku meleleh. Sayangnya, aku tidak layak memilikinya. Benar, kan?
***
Lagi, aku berangkat sekolah dengan Kak Ardino. Untunglah, aku tidak bertemu dengan Kak Arven di parkiran sekolah. Tetapi, kami malah berpapasan di koridor utama. Berjalan berlawanan. Saat jarak kami sekitar sepuluh meter, dia sempat melirikku sesaat. Setelah itu dia lurus menatap ke depan, tak peduli lagi padaku. Dadaku terasa menyempit. Kami bak orang yang tak saling kenal.
Terus berjalan, semakin dekat dan dia segera berlalu dari dekatku. Tanpa terjadi apa-apa, seperti senyum yang mengulas atau sapaan. Sedikitpun tatapannya tak mengarah padaku lagi. Karena itulah yang kupinta padanya tempo hari, menjauhiku. Ingin sekali aku menggenggamnya. Mengatakan betapa aku menyukainya. Dia tak tergapai. Aku benci suasana ini. Aku benci dengan kata menyedihkan yang tersemat padaku ini, sangat benci.
***
Fidelya tidak ke sekolah hari ini, dia sedang kurang sehat. Kantin sudah ramai. Sempat kudengar bisik-bisik yang penasaran kenapa aku tidak bersama Kak Arven. Ada pula celaan kalau aku senang bergonta-ganti cowok karena sekarang aku ke kantin hanya berdua dengan Kak Ardino. Kami duduk berhadapan di salah satu meja agak pojok.
"Gak usah didengerin," ucap Kak Ardino setelah kami lama terdiam. Dia sedang makan rujak.
Aku hanya minum thai tea. "Iya, Kak."
"Adara dari tadi lo ngelamun aja. Mau dengar sesuatu?" tanya Kak Ardino di sela-sela makan rujaknya.
Aku mengangguk.
"Orang apa yang berenang rambutnya gak pernah basah?"
Aku terdiam. Dahiku agak mengerut, sedang berpikir. Orang apa sih?
"Hayo, orang apa?" Kak Ardino terlihat tidak sabaran dengan jawabanku.
Akhirnya aku mengedikkan bahuku, tidak mendapat jawabannya. "Gak tau, Kak. Orang apa, sih?"
"Orang yang gak punya rambut, hehe." Dia tertawa kecil. Aku ikut tertawa, bisa receh juga dia.
"Oke, satu pertanyaan lagi," katanya.
Setelah meminum sedikit lagi, aku mencondongkan tubuh ke arahnya. Merasa tertantang.
"Hewan apa yang paling panjang?"
Aku berpikir lagi. Apa, ya? "Dinosaurus?"
Kak Ardino menggeleng. "Salah."
"Anaconda?"
Kak Ardino menggeleng lagi.
Aku mengetuk-ngetuk meja. Lalu mengeluarkan semua yang terlintas di kepalaku. "Jerapah? Paus? Megalodon? Naga?"
Gelengan lagi yang kuperoleh. "Terus apa juga, Kak?"
"Nyerah, nih?"