"Lo punya alibi kalo lo gak bunuh dia?!" teriak Kak Ardino tiba-tiba padaku. Tatapannya menyiratkan kemarahan. Tak sempat kujawab, para guru memasuki perpustakaan dengan panik.
Suara sirine ambulance disusul mobil pihak kepolisian, membuat satu sekolah heboh. Kelas-kelas yang tadinya sedang belajar, penghuninya berhamburan keluar menuju kemari. Kak Ardino menyeretku keluar, membawaku ke salah satu detektif kepolisian yang ada di koridor perpustakaan.
"Pas saya baru masuk ke perpustakaan sama teman-teman saya, saya lihat dia," Kak Ardino menunjuk ke arahku, "berjongkok di sebelah Sisi."
Aku tidak menyangka, Kak Ardino akan menyudutku seperti ini.
"Apakah benar yang baru saja dikatakan saudara Ardino?" tanya detektif pria itu padaku.
"Benar kalau saya sempat berjongkok di dekat siswi itu, tapi pas saya datang siswi itu udah tergeletak di lantai. Saya cuma mau periksa apakah hanya pingsan," jelasku jujur. Karena memang itulah faktanya.
"Wah, dia beneran pembunuh?"
"Gak salah lagi, dia punya darah psikopat."
"Menakutkan sekali. Gue gak nyangka."
"Beneran kan gue bilang? Dia itu memang monster. Sama kayak ayahnya!"
"Gila! Dasar psikopat gila!"
"Pergi ke neraka aja lo!"
"Dasar monster!"
Mereka yang mengerumuniku mulai mencaciku. Semuanya salah paham.
"Gue bukan pembunuh!" teriakku pada mereka. Namun, tak ada yang percaya. Mereka menyudutkanku seolah-olah aku tersangka. Sekalipun dadaku naik turun dan mulai menangis, tak akan ada yang percaya padaku. Karena cap pembunuh sudah duluan menempel padaku, walau tak ada riwayat pembunuhan yang pernah kulakukan sekalipun.
"Bawa saja dia ke penjara, Pak! Dia anak pembunuh berantai itu!" tambah seorang siswa dengan suara keras.
Detektif tadi melihat ke arahku. "Kamu harus ikut kami ke kantor polisi. Jelaskan di sana semuanya."
Aku hanya bisa mengangguk dengan perasaan kacau. Ketika hendak masuk ke mobil polisi, aku sempat melihat Kak Arven menatapku sedih. Dia berdiri di tengah kerumunan, pandangan kami bertemu beberapa saat, sebelum dia bergegas pergi dari sana.