IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #2

CAHAYA YANG RETAK

“Mary, Mary!!” 

Suara itu memanggilnya berulang kali. Harusnya … Mary bisa menjawab. Tapi seolah ada sesuatu yang menahan suaranya, seperti tangan tak kasat mata yang mencengkeram lehernya, membuat setiap kata tercekat di tenggorokannya. 

“Mary, Mary! Bangun sayang!” 

Kali ini suara itu terdengar seperti teriakan, disertai dengan guncangan hebat pada tubuhnya. Mary membuka matanya sedikit, tapi yang dilihatnya bukanlah dunia nyata melainkan sebuah ruang asing, diselimuti bayangan gelap yang tampak mengerikan. Sosok itu begitu nyata, mendekat dengan tangan terangkat, seolah hendak menghantamnya tanpa ampun. 

“Mary! Bangun sayang!” 

Teriakan itu semakin keras, menyayat telinganya. Bayangan gelap itu juga semakin dekat dan rasa takut yang mencekam seolah mencekiknya, membuat tubuhnya gemetar. 

Bangun, Mary! Bangun! Ini cuma mimpi!, teriaknya dalam hati. Ia sadar– ini hanya mimpi buruk. Tapi sadar saja tidak cukup. Bangun dari mimpi yang menyeramkan ini seperti mencoba berenang dalam kolam lumpur hidup: semakin berusaha, semakin tenggelam. 

“Mary!” 

Teriakan terakhir itu seperti menghantam kesadarannya. Kedua matanya terbelalak, dadanya naik turun cepat. Napasnya tersengal. Ia duduk, bukan berbaring. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, meski udara pagi belum sepenuhnya masuk ke dalam kamar. 

Mary mengangguk lemah. Suaranya masih belum bisa keluar karena napasnya yang memburu seperti baru saja berlari maraton. 

“Mary,” suara lembut itu memanggilnya. Ia menoleh dan menemukan ibunya duduk di sampingnya, menggenggam kedua tangannya erat-erat. Wajah sang ibu tampak pucat, matanya penuh kecemasan. “Kamu mimpi buruk lagi, sayang?” 

Mary mengangguk pelan. Tenggorokannya masih tercekat. Suaranya masih belum bisa keluar, sementara napasnya masih memburu seolah ia baru saja berlari tanpa henti dalam mimpi itu. 

“Mary! Jawab Ayah!” Nada suara ayahnya terdengar tegas, sedikit meninggi, membuat udara dini hari itu terasa lebih dingin dari seharusnya. 

Mary menoleh ke arah ayah yang berdiri di sisi lain ranjangnya. Rautnya tegang, antara takut dan marah yang tak bisa ia jelaskan. Sorot mata pria itu menatap tajam ke arahnya, menuntut sebuah jawaban. 

“Ayah!” Ibu segera menyela, seperti biasa menjadi benteng perlindungan untuk Mary dalam situasi seperti ini. Ia menarik Mary ke dalam pelukannya, membungkus tubuh putrinya yang gemetar dengan hangat tubuhnya sendiri. “Jangan sekarang. Tolong … biarkan Mary tenang dulu.” 

Dengan langkah berat, ayah kembali ke kamarnya, meninggalkan ibu dan Mary di dalam ruangan yang kembali sunyi. Mary melirik jam dinding di kamarnya. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Ibu melepaskan pelukannya, tetap tinggal, duduk di tepi ranjang sambil menepuk lembut tangan Mary yang masih dingin dan basah oleh sisa keringat mimpi buruk. 

“Mary tahu, kan? Ayah tadi bukan marah. Ayah cuma khawatir,” ucap ibu dengan suara hangat, nyaris berbisik seakan tak ingin membuat malam itu semakin berat. 

Mary mengangguk pelan, nyaris tak terdengar. “Mary tahu, Bu ….” 

Lihat selengkapnya