Nia Felora dan kota Smara.
Dua nama itu seperti bagian puzzle yang tidak lengkap, menjadi satu-satunya petunjuk yang Mary miliki untuk menemukan ibu kandungnya. Dua minggu telah berlalu sejak percakapannya dengan sang ayah–sebuah percakapan yang tak memberinya jawaban, hanya luka dan rasa penasaran yang makin dalam. Dan hari ini … Mary memutuskan untuk bertindak.
Sebelumnya … ia sudah mencoba mencari jejak apapun tentang Nia Felora di rumah. Foto lama, surat, atau apa saja yang bisa menghubungkannya dengan masa lalu. Tapi hasilnya nihil. Rumah yang selama ini ditinggalinya terlalu rapi untuk menyisakan jejak masa lalu. Seolah kehidupannya sebelum Yasmin datang telah benar-benar dihapus.
Namun Mary tidak menyerah. Ia masih memegang dua hal penting: nama ibu kandungnya dan kota kelahirannya–Smara.
Hari ini adalah hari libur sekolah. Biasanya, ia dan Ferno akan berlibur ke rumah nenek mereka dari pihak ibu tirinya. Tapi tahun lalu, keduanya telah pergi. Sang nenek lebih pergi karena sakit, dan sang kakek menyusul tak lama kemudian, seolah kehilangan semangat hidup tanpa istrinya. Dari pihak ayah, kakek dan nenek Mary sudah lebih dulu meninggal dunia. Kisah mereka hanya hidup dalam cerita yang diceritakan oleh ayah saat malam hari.
Dan hari ini, dengan satu alasan kecil yang terdengar wajar ‘main ke rumah teman seharian’ Mary memulai langkah nekat pertamanya.
Dengan hasil uang tabungannya sendiri, ia naik bus ke kota Smara–kota yang mungkin jadi tempat tinggal ibunya. Jaraknya tak begitu jauh dari kota Prema–di mana Mary tinggal, hanya sekitar 50-60 km, kira-kira dua jam perjalanan. Tapi bagi Mary, perjalanan itu terasa jauh. Karena untuk pertama kalinya, ia pergi tanpa izin untuk sesuatu yang begitu besar: mencari asal-usulnya sendiri.
“Kota Smara! Siap-siap yang mau turun!!”
Suara lantang dari kernet bus memecah lamunannya. Mary tersentak, lalu segera meraih tas kecilnya. Itu artinya, ia sudah hampir tiba.
Bus perlahan memasuki terminal kota Smara. Tidak seperti kota Prema yang riuh dan modern, kota terasa seperti dunia yang berbeda. Lebih tenang. Lebih sederhana. Jalan-jalan kecil membelah sawah dan kebun. Tidak ada deretan gedung menjulang, tidak ada lalu lintas yang padat atau suara klakson yang bersahutan. Udara di sini lebih segar dan langit terlihat lebih luas. Kota ini lebih menyerupai desa yang besar yang tumbuh bersama alam, pikir Mary.
Setelah turun dari bus, Mary langsung mencari ojek dan menunjukkan peta dari pencariannya. Dalam dua minggu terakhir, Mary memang sudah melakukan banyak riset. Ia sempat mengira akan sulit untuk menemukan jejak wanita yang tak pernah ia kenal. Tapi ketika mengetik nama Nia Felora di mesin pencari, sebuah kejutan muncul: nama itu tercatat sebagai salah pemilik kebun coklat terbesar di kota Smara. Lokasinya tertera jelas di peta, walau tanpa alamat rumah yang spesifik.
Namun bagi Mary, itu sudah lebih dari cukup. Kebun itu adalah satu-satunya titik awal yang ia miliki. Ia percaya, orang-orang di sekitar sana pasti tahu ke mana harus bertanya.
“Mau ke mana, Nak? Alamatnya ke arah kebun coklat ya?” Tukang ojek yang membawanya bertanya sambil melirik dari kaca spion, penasaran dengan penumpang muda yang kini duduk di belakangnya.
Mary mengangguk cepat. “Saya mau cari Ibu saya, Pak.”
“Ibu? Di daerah kebun itu?” ulang pria itu, agak terkejut. Ia kembali menatap Mary dari cermin kecil. “Enggak banyak yang tinggal di sana, Nak. Kebanyakan cuma pekerja kebun. Tapi … saya dulu pernah tinggal dan kerja di sana. Ada kenalan juga.”
Penjelasan itu bagaikan cahaya kecil yang muncul dalam lorong panjang pencarian kecil Mary. Matanya membulat seolah ia tak percaya bahwa bantuan yang ia harapkan sejak awal bisa datang begitu cepat–dari orang pertama yang ia temui di kota ini.
“Bapak bisa bantu saya?” tanyanya cepat, penuh harap.
Pria itu melirik cermin kecil itu lagi, kali ini dengan ekspresi bingung yang kentara. “Eh? Bantu gimana, Nak?” Ia tertawa kecil, mencoba memastikan maksud gadis muda di boncengannya.