“Mary!”
Begitu tiba di rumah, Mary langsung disambut pelukan hangat dari ibunya. Wanita itu menariknya ke dalam dekapannya dengan cepat seolah memastikan bahwa anak gadisnya benar-benar kembali.
“Kamu dari mana saja, Mary?” Suara sang ibu bergetar antara lega dan panik. pelukanya erat seakan takut jika Mary akan menghilang lagi.
Di dalam pelukan itu, Mary membiarkan dirinya diam. Aroma tubuh ibunya-campuran lembut dari sabun, bedak dan sedikit wangi baju yang dikeringkan matahari, menyusup ke indra penciumannya. Aneh. Betapa aroma itu mampu menenangkan perasaannya yang sejak tadi berkecamuk.
“Mary. Kenapa enggak jawab Ibu?” suara ibunya kini terdengar lebih tegang. “Dari mana saja kamu? Ibu tadi ke rumah temanmu, tapi kamu enggak ada di sana! Ibu sudah cari ke mana-mana, Mary! Kamu kamu enggak pulang juga, Ibu pasti sudah hubungi Ayah!”
Wanita itu mencoba melepaskan pelukannya untuk menatap wajah putrinya, tapi Mary justru mempererat dekapannya.
“Sebenarnya ada apa, Mary?” Tanya sang ibu lagi, lebih lembut, penuh kekhawatiran.
Mary diam. Ia tetap memeluk tubuh wanita yang selama ini ia panggil ‘ibu’, namun pikirannya tak ada di sana. Ingatannya kembali melayang ke beberapa jam lalu–saat ia berdiri di depan sebuah gerbang besar yang berkarat, menghadap rumah besar tempat ibu kandungnya tinggal.
Rumah itu besar–jauh lebih besar dari rumah tempat Mary tinggal sekarang. Bahkan mungkin lima atau enam kali lipat luasnya. Namun, alih-alih megah, rumah itu justru tampak suram dan menyedihkan. Rumput liar menjalar tanpa arah, cat dinding mengelupas, pagar besi berkarat terbuka sebagian, dan sebagian sudah rusak. Tak ada kehidupan yang terasa dari tempat itu, hanya kesunyian yang menyelimuti dari kejauhan.
Dan yang paling membuat Mary terpukul–ibu kandungnya tinggal sendirian. Meski ada pembantu yang sesekali datang membantu, sebagian besar hari-harinya ia lewati seorang diri, sejak kedua orang tuanya meninggal dunia karena sakit bertahun-tahun lalu/
Pelukan ibu terasa sehangat ini … lalu bagaimana rasanya pelukan dari ibu kandungku?
Mary tak bisa menghentikan pertanyaan itu di kepalanya. Tanpa perlu mendengar cerita panjang, keadaan rumah itu sudah cukup jadi saksi bisu: kehidupan wanita bernama Nia Felora itu jauh dari kata bahagia.
Selama ini … aku hidup bahagia bersama Ayah dan Ibu. Tapi bagaimana dengan hidup Ibu kandungku??
Perasaan bersalah muncul pelan-pelan di hatinya. Ia mulai membandingkan–bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memahami. Dan dari perbandingan itu muncul sesuatu yang lebih dalam: rasa penasaran. Ia butuh tahu lebih dari sekedar nama dan wajah. Ia butuh tahu kenapa.
Kenapa Ayah dan Ibu kandungku berpisah?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Dan kenapa Ayah tak mau cerita?
Apa hubungannya Ibu dan mimpi burukku selama ini?
Keraguan mulai merambat ke dalam hatinya. Semakin ayahnya diam, semakin banyak pertanyaan bermunculan dan semakin besar pula tekadnya untuk mendapatkan jawaban.
“Mary?! Sebenarnya apa yang terjadi? Ke mana saja kamu tadi? Cepat bilang sama Ibu!”
Begitu berhasil melepaskan pelukan Mary, wanita itu langsung menatap wajah putrinya lekat-lekat. Tatapannya dipenuhi kecemasan, mencari-cari petunjuk di mata Mary seolah ingin membaca langsung dari sorot matanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Mary, jawab Ibu!” desaknya dengan suara yang mulai bergetar. “Kamu dari mana saja seharian ini?”