Gerbang besi itu berderit pelan ketika Mary mendorongnya terbuka. Suara gesekannya seperti menggema di hatinya, nyaring dan ragu. Di balik pagar, rerumputan liar menjalar di antara batu-batu jalan setapak dan bunga-bunga matahari yang seharusnya cerah, kini layu dan mengangguk tertunduk.
Mary menarik napas panjang. Tangannya sedikit gemetar, tapi langkahnya tetap maju. Ada banyak pikiran yang berputar di benaknya saat ini. Pertama, rupa Nia. Ia penasaran semirip apa dirinya dengan ibu kandungnya. Kedua, pertemuannya dengan wanita itu. Ia sedikit cemas bagaimana ketika ibu kandungnya melihat dirinya nanti. Meski sudah setuju untuk membiarkan Mary tinggal, tapi hingga hari ini ia belum pernah bertemu dengan ibu kandungnya. Semua urusan kepindahannya diurus oleh sahabat lama ayahnya yang tadi mengantarnya. Ia berharap ibu kandungnya akan bahagia saat bertemu dengannya nanti. Ketiga, gangguan emosi ibunya. Ini adalah sesuatu yang menyita banyak pikirannya.
Dua bulan yang lalu setelah Yasmin-ibunya bicara dengan ayah mengenai kepergian Mary ke kota Smara, untuk pertama kalinya ia melihat ayahnya marah besar padanya. Ayah benar-benar marah tapi di satu sisi, ia juga sangat ketakutan. Tangannya gemetar ketika memeriksa tubuh putrinya.
Dari kejadian itu, pria itu tidak punya pilihan lain selain menceritakan segalanya pada Mary, termasuk gangguan emosi yang diderita ibu kandungnya sejak kecil.
“Ibumu punya penyakit sejak kecil. Ibumu tidak bisa mengelola emosinya terutama amarahnya,” ujar Ayah.
Glup. Mary menelan ludah. Ia mengepalkan tangannya, menguatkan dirinya sendiri. Aku bisa bertahan dengan baik. Seperti kata Ibu, kebencian tidak akan berhenti kalau dibalas dengan kebencian. Sejahat apapun ibu kandungku, ia pasti akan melihatku sebagai anak kandungnya.
Mary memantapkan dirinya, kembali melangkah maju. Rumah itu … meski besar, tampak tak jauh berbeda dengan yang dilihatnya terakhir kali: catnya mengelupas, jendela kayu berdebu dengan beberapa bagian yang rusak.
Tok, tok! Mary mengetuk pintu beberapa kali dengan cemas.
Tapi tak sampai lama ia menunggu, seseorang datang dan membukakan pintu.
Seorang wanita berdiri di ambang, mengenakan gaun sederhana berwarna merah yang sedikit kusut. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya … meski belum tua, menyimpan gurat letih yang mendalam. Matanya tajam, tapi redup. Seperti pernah menjadi terang, lalu padam untuk waktu yang lama.
Mary tahu siapa wanita itu. Gambarannya sangat cocok dengan kata ayahnya. Nia Felora.
Untuk beberapa detik, tak ada kata. Hanya diam. Hanya dua pasang mata yang saling menatap kebingungan dan perasaan yang terlalu rumit untuk dijelaskan.
Mary membuka mulutnya pelan. “Ibu … ini aku Mary,” ucapnya lirih.
Nia tak langsung menjawab. Sorot matanya membeku, nyaris tanpa ekspresi. Tapi tubuhnya sedikit berguncang. Tangannya naik perlahan ke dada seolah mec maet jantung yang mendadak tak beraturan.
“Apa … siapa namamu tadi?” suaranya serak, seperti sudah lama tak digunakan untuk menyapa.
“Ma-Mary,” ulangnya, sedikit gugup.
Sekali lagi, keheningan turun seperti kabut tipis yang menyelimuti mereka.
“Mary … “ Nia mengulang nama itu pelan. Bibirnya bergetar. “Maryku … “
Tangannya maju pelan, seolah tak yakin apakah ia benar-benar boleh menyentuh sosok di hadapannya. Tapi sebelum sempat menyentuh, Maru lebih dulu maju dan memeluknya. Bukan pelukan hangat yang yakin. Tapi pelukan pelan dan penuh ragu. Pelukan dua jiwa yang mencoba saling mengenali kembali, setelah bertahun-tahun terpisah oleh waktu dan jarak.
Dan ketika tangan Nia akhirnya membalas pelukan itu, tubuhnya bergetar hebat. Isak kecil lolos dari bibirnya.
Mary menutup matanya. Pelukan ini berbeda dari yang ia kenal. Bukan pelukan Yasmin yang penuh ketenangan dan kehangatan, tapi pelukan ini … membawa rasa asing sedikit kacau, tapi ada sesuatu di dalamnya seperti sisa cinta yang pernah tumbuh dan belum sempat benar-benar layu.