IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #7

EMPAT ANAK LAKI-LAKI

Ketika Mary pindah ke rumah Nia, sekolah sudah dimulai. Ia harusnya segera masuk sekolah mengejar ketinggalan. Namun, Mary memilih untuk menundanya selama empat hari. Bukan karena malas, melainkan karena ingin mencoba lebih dekat dengan sosok yang baru ia kenal sebagai ibu kandungnya. 

Hari-hari pertamanya di rumah itu dimulai dengan kesibukan bersih-bersih. Rumah Nia memang besar, tapi kondisinya jauh dari kata nyaman–terasa kosong, berdebu dan tak terurus, berbanding terbalik dengan rumah Yasmin yang selalu hangat dan rapi. Mary membersihkan ruangan demi ruangan, menyapu, mengepel, menata ulang letak banyak perabot. Ia ingin membuat tempat itu sedikit lebih layak untuk dihuni–untuk dirinya dan untuk ibu yang baru saja hadir kembali dalam hidupnya. 

Namun … malam-malamnya masih dipenuhi mimpi buruk. Awalnya … ia mengira mimpi itu akan hilang setelah ia mengetahui kenyataan di balik kelahirannya, mimpi itu akan hilang jika ia kembali ke rumah kelahirannya. Tapi mimpi itu terus mengganggunya dan bahkan sekarang, selalu berakhir dengan bayangan wajah Nia, gelap, menakutkan dan tak bisa dijelaskan seperti sosok asing yang terus mengejarnya tanpa henti. 

Mary mencoba mengabaikan mimpi itu. 

Ia menganggap mimpi itu hanyalah cerminan dari rasa takut, lahir dari situasi yang asing dan emosinya yang tidak stabil. Kenyataannya selama empat hari itu, Nia memperlakukannya dengan baik. Lembut, perhatian, bahkan terlihat sungguh-sungguh ingin mendekat. 

Siang itu, setelah membereskan sisa debu di beberapa ruangan dalam rumah, Mary menghampiri ibunya. 

“Bu, Mary mau keluar sebentar. Mary mau beli keperluan sekolah.” 

Nia menoleh dari arah dapur, suaranya tetap lembut seperti biasa. “Kamu bisa beli di dekat panti asuhan. Kamu tahu kan sekolah barumu di mana?” 

Mary mengangguk kecil.” Tahu kok, Bu.” 

Setelah mendapat izin, ia keluar dengan sepeda pedal yang diberikan ayahnya melalui seorang teman dekat–pengurus panti asuhan yang tak jauh dari sana. Awalnya … Mary mengayuh sepedanya perlahan, tapi setelah melewati area perkebunan yang luas, ia memutuskan turun dan menuntunnya sambil menikmati pemandangan sekitar. 

Jarak dari rumah ke sekolah barunya sekitar dua kilometer. Kalau berjalan kaki, butuh waktu sekitar 20 menit. Tapi dengan sepeda, cukup 6 sampai 10 menit saja. Karena itulah ayahnya membelikan sepeda, agar lebih untuk Mary yang belum lama tinggal di kota ini. 

Di sepanjang satu kilometer pertama, hanya hamparan kebun milik ibunya yang terlihat, membentak di kanan dan kiri jalan. Barulah di kilometer terakhir, rumah-rumah mulai bermunculan, termasuk panti asuhan tempat teman ayahnya bekerja. 

Dari yang Mary dengar, panti asuhan itu dulunya didirikan oleh kakek dan nenek dari pihak ibunya, lalu dikelola oleh sang ayah setelah menikah dengan Nia. Namun setelah perpisahan mereka, pengelolaan panti diserahkan pada teman dekat sang ayah yang dulu ikut mengurus tempat itu bersamanya. 

Mary mengingat kembali kunjungan pertamanya ke kota Smara. Kota ini jelas berbeda dengan kota Prema, tempat ia tumbuh bersama sang ayah. Smara terasa lebih damai, lebih sejuk dan lebih hijau. Tak ada gedung-gedung tinggi, tak ada klakson yang saling bersahutan. Yang terdengar hanya desir angin, kicau burung, sebuah ketenangan yang sulit ditemukan di kota besar. 

Ia sedang menikmati ketenangan tu ketika suara gaduh tiba-tiba merusak suasana. 

Buk! Buk! Buk! 

Suara itu datang dari area pertokoan kecil di sebelah kiri jalan, tepatnya sebuah warnet yang letaknya masih beberapa blok dari panti asuhan dan sekolah barunya. Mary menoleh, penasaran. Ia mendekat, mengintip lewat jendela yang terbuka. Di dalam, beberapa pria dewasa terlibat keributan dengan sekelompok anak laki-laki. Dan saat matanya menatap seragam yang dikenakan anak-anak, seragam sekolah yang sama dengan miliknya, Mary langsung tergerak. 

Awalnya ia berniat hanya melihat, lalu pergi. Tapi sesuatu dalam dirinya–nalurinya sebagai kakak yang terbiasa melindungi adik laki-lakinya, mendorongnya untuk bertindak. 

Ia tak berpikir lama. Ia tahu satu-satunya cara untuk menghentikan keributan itu adalah dengan membuat mereka berhenti sejenak. Ia pernah melakukannya dulu, saat menghentikan pertengkaran Ferno dengan teman sekolahnya. Dan kali ini, ia hanya perlu mengulanginya. 

Tanpa ragu, Mary menerobos masuk, berjalan cepat melewati orang-orang yang saling dorong dan saling pukul, lalu berdiri tepat di depan satu anak laki-laki yang lukanya lebih parah dari yang lain. 

Buk! 

Sebuah pukulan keras menghantam wajahnya. Tubuhnya terhempas ke belakang, menabrak meja yang berada tak jauh dari belakangnya. Ia jatuh tersungkur, wajahnya terkejut tai tidak gentar. 

“Nak! Apa kamu sudah gila?” teriak pria bertubuh besar yang tadi memukulnya, matanya membelalak kaget. Jelas ia tak menyangka akan memukul anak perempuan. 

“Ma-maaf, Pak,” ucapnya lirih, suaranya bergetar tapi tegas. “Kalau saya enggak begini, kalian enggak akan berhenti saling pukul.” 

Lihat selengkapnya