Wajah menakutkan yang Nia tunjukkan kemarin, masih membekas jelas dalam ingatannya. Tapi … hari ini adalah awal baru. Hari pertamanya di sekolah yang juga baru, di kota yang masih asing. Mary tidak ingin bayang-bayang kekerasan itu merusak hari pertamanya. Ia tak ingin murid-murid lain menangkap semburat merah yang masih tertinggal di pipinya.
Semalam, dengan kantong es kecil yang dibungkus kain tipis, ia berkali-kali mengompres pipinya sambil menahan air mata. Ia beruntung, pembengkakan itu tak jadi lebih buruk, mungkin karena cepat ditangani atau karena tekadnya yang keras untuk menyembunyikan luka itu rapat-rapat.
“Hari ini, kita kedatangan murid baru. Pindahan dari kota Prema,” suara guru wali kelas memecah keheningan pagi.
Pria itu mudah itu tampak ramah dan mudah didekati. Senyumnya hangat dan gaya bicaranya santai. Ia memberi isyarat halus pada Mary untuk maju ke depan kelas.
“Kamu bisa kenalkan dirimu.”
Mary melangkah pelan ke depan. Jantungnya berdegup cepat, tapi sebisa mungkin ia memasang raut wajah setenang mungkin. Tatapannya menyapu seisi kelas, mengamati satu persatu wajah yang duduk di barisan kursi, hingga akhirnya matanya berhenti di baris keempat, dua meja dari belakang.
Empat wajah. Wajah yang tidak asing. Wajah empat anak laki-laki yang kemarin ia lihat terlibat perkelahian di warnet, yang sempat ia bantu dan salah satunya bahkan melindunginya.
Empat anak yang kemarin-mereka ternyata … satu kelas denganku.
Untuk sesaat, Mary merasa lega. Di tengah lingkungan baru yang asing, setidaknya ada empat yang sudah pernah ia temui, walau dalam situasi yang kacau. Mungkin ini pertanda baik, pikirnya.
“Salam kenal, namaku Asa Amarys. Biasa dipanggil Mary.”Suaranya lembut, sedikit gugup tapi ia tetap tersenyum.
Sekali lagi matanya menyapu ruangan–35 orang murid, dengannya menjadi 36 orang. Tatapannya lagi-lagi berhenti pada empat anak laki-laki di baris keempat. Ia berharap membalas senyum atau setidaknya memberi anggukan ringan–semacam pengakuan bahwa mereka pernah saling bertemu kemarin.
Tapi … ia salah.
Tiga dari mereka memasang wajah datar, nyaris tanpa ekspresi. Namun yang membuat dadanya tercekat adalah satu di antaranya–anak yang kemarin berdiri di depannya, berusaha melindunginya. Anak itu menatap Mary dengan sorot tajam, dingin … penuh penolakan. Tatapan yang entah kenapa mengingatkannya pada Nia.
Deg.
Kenapa dia melihatku seperti itu?
Apa aku berbuat salah?
Mary tidak tahu jawabannya. Tapi satu hal yang pasti: kehadirannya di kelas ini, rupanya tidak disambut hangat oleh satu salah dari mereka. Dan untuk alasan yang belum ia pahami, ia merasa sedih.