Malam turun perlahan.
Langit di luar jendela sudah benar-benar gelap ketika Mary berbaring di atas ranjangnya yang asing. Kamar itu sunyi, hanya terdengar suara detak jam, dan deru napasnya sendiri. Tangannya yang kanan menggenggam kantong es yang kini didekatkannya ke kening yang masih terasa nyeri. Lagi, lagi, ia kembali menenangkan rasa sakit yang tersisa.
Awalnya ia pikir Nia akan menjambak rambutnya dengan sangat keras. Tapi saat ia memilih untuk diam, menerima tanpa memberi reaksi atau jawaban yang diinginkan ibunya, tangan Nia meluncur, mendorong tubuh Mary hingga membentur dinding dan buruknya, kening kepalanya terluka karena hal itu.
Untung saja benturan itu tidak terlalu keras tapi cukup menyakitkan untuk membuat bagian keningnya memar. Jika tidak segera dikompres dengan benar, ia tahu besok pagi bekasnya akan tampak jelas, dan akan ada banyak mata yang melihatnya. Satu, dua kali, ia bisa beralasan. Tapi kalau terlalu sering?
Orang-orang pasti akan mulai curiga.
Mary menarik napas pelan. Dalam hati, ia masih berusaha percaya:
Ibuku pasti akan berubah.
Amarahnya akan berhenti jika aku terus di sampingnya.
Ibu pasti akan sadar bahwa dengan aku selalu di sisinya, itu artinya aku sangat menyayanginya.
Ia menatap langit-langit kamarnya, kosong dan saat itu juga rasa rindu menyusup pelan. Rindu akan rumah kecilnya dulu. Rindu pada ayah. Rindu pada kehidupan yang terasa lebih hangat dan aman. Kantong es yang dingin sedikit mengalihkan sakit di dahinya, tapi tidak dengan rasa rindu di hatinya.
Lalu suara itu datang lagi. Suara sang ayah saat ia membuat keputusan untuk datang ke rumah ini.
“Ibumu punya penyakit sejak kecil. Dia tidak bisa mengelola emosinya terutama amarahnya.”
Sekarang, setelah melihat sendiri bagaimana Nia meledak tanpa kendali, Mary mulai benar-benar memahami penolakan kuat ayahnya waktu itu. Ia mengingat jelas pertengkaran hebat saat itu, pertengkaran pertamanya dengan sang ayah.
Sebelumnya jika ia berselisih paham, ayahnya akan mengalah. Tapi saat itu, tidak. Pria itu berdiri teguh, mencoba menjelaskan dengan suara bergetar karena cemas.
“Dengar, Mary. Ayah sama sekali tidak berniat menjelekkan ibumu. Ayah tahu kenyataan bahwa Nia adalah ibu kandungmu, tidak akan berubah. Tapi harus kamu tahu … dia punya masalah dalam mengelola emosi. Bukan masalah kecil, tapi masalah besar. Ayah bilang ini karena Ayah takut sesuatu akan terjadi padamu kalau kamu tinggal bersamanya.”
Mary ingat, bagaimana pria itu menatapnya dengan memohon–meminta anak gadisnya untuk membatalkan niat untuk tinggal bersama dengan Nia. Tapi saat itu, tekadnya sudah bulat. Ia tak tega melihat ibu kandungnya hidup seorang diri. Ia pikir … mungkin, kehadirannya bisa menyembuhkan luka-luka di hati ibunya.
Tapi .. ternyata tidak semudah itu.