IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #10

PIKIRAN NIA

Nia duduk diam di ruang tamu. Tubuhnya tenggelam dalam sofa kulit lama yang beberapa bagiannya sudah mengelupas. Cahaya sore  menembus tirai tipis jendela, menciptakan bayangan samar di dinding rumahnya yang sunyi. Sudah lama ia menjalani hari-harinya dalam keheningan seperti ini-rutinitas membosankan yang terus berulang. 

Tapi, akhir-akhir ini hidupnya berubah. Perlahan, tapi pasti. Dan semua itu berawal dari satu hal: kedatangan Mary. Putrinya. 

Putri yang dulu dibawa pergi oleh Harit–lelaki yang dulu dipanggilnya suami–dan menghilang dari hidupnya selama lebih dari satu dekade, kini tiba-tiba kembali. 

Dengan langkah kaku tapi penuh tekad, anak itu datang sendiri mencarinya. 

Yang lebih mengejutkan lagi adalah anak itu memutuskan untuk bersamanya. Di rumah ini. Di rumah yang hanya ada sepi dan dingin di dalamnya. 

Sejak perpisahan mereka, hidup Nia seperti ditinggalkan oleh semua yang berai. Harit pergi. Kedua orang tuanya meninggal satu per satu. Dan ia merasa seperti menua dalam kehampaan. Pernah ia berpikir, mungkin akan mati dalam sepi. Tapi kini … Mary datang. 

Dan bersama dengan kedatangan gadis itu, sebuah harapan lama yang terkubur, kembali tumbuh: Harit akan kembali. 

Ia yakin, cepat atau lambat, pria itu akan datang menyusul putrinya. Akan datang kembali padanya. Harapan itu sangat kuat, seperti gema dalam kepalanya. 

Dia akan kembali. Dia akan kembali. Dia akan kembali padaku. 

Tapi empat hari telah berlalu. 

Empat hari tinggal bersama Mary, dan tak sekalipun bayangan Harit terlihat di ambang pintu. Tidak satu pesan, tidak satu kabar. Kemarahan yang lama dikuburnya, kini mulai naik ke permukaan. Ia teringat lagi, betapa mudahnya Harit pergi. Betapa teganya pria itu meninggalkannya, kembali pada cinta lamanya, dan lebih dari itu … membawa serta Mary, putri mereka. 

Apa lagi yang haus aku lakukan agar Harit kembali padaku? 

Nia bangkit dari kursinya, tubuhnya bergerak gelisah, mondar-mandir seperti tak tahu harus ke mana melarikan diri dari pikirannya. Jemarinya gemetar, dan pikirannya tak bisa diam.

Bayangan kehilangan kedua kalinya melintas begitu saja dalam benaknya–tajam, menyakitkan dan terlalu nyata untuk diabaikan. Jantungnya serasa dicekik keras di dadanya. Ia tidak sanggup membayangkannya. Tidak lagi bukan untuk kedua kalinya. 

Ia mencintai Harit. 

Cinta yang tak pernah benar-benar padam, meski waktu telah berlalu, meski hidup memaksa mereka berjalan di jalan yang berbeda. Ia tidak siap kehilangan sosok itu lagi. Tidak sekarang. Tidak ketika Mary telah kembali. 

Dan di tengah badai rasa takut itu, hanya satu hal yang muncul sebagai harapan terakhirnya: Mary. Putri kecil mereka, satu–satunya penghubung yang masih tersisa antara dirinya dan pria itu. 

Nia mengepalkan tangannya, keras. Jika perlu, ia akan memohon. Mendesak. Bahkan memaksa. Apapun caranya, ia harus membuat Mary bicara. Harus memberitahu di mana Harit berada. Dan setelah itu, ia akan memaksa pria itu untuk datang padanya. Ia akan mengembalikna keluarganya. Kebahagiaannya. 

Harga diri? Moral? Salah atau benar? Ia tak peduli lagi. 

Yang ia tahu, hatinya tidak sanggup kehilangan lagi. Tidak untuk kedua kalinya. Tidak untuk cinta yang satu ini. 

“Mary, kamu putriku, kan? Kamu anak kandungku, kan?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Kalau kamu memang benar-benar anak kandungku, kamu harusnya bisa menuruti keinginanku kan? Kamu harusnya bisa membawa ayahmu ke sini dan hidup bersama dengan kita di rumah ini!” 

Lihat selengkapnya