IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #11

PUNGGUNG ITU

Dua bulan telah berlalu. 

Pada bulan pertama, emosi Nia seperti badai yang datang tanpa aba-aba, meledak-ledak, tak bisa diprediksi. Berkat itu, Mary hidup dalam kecemasan yang tak pernah reda. Setiap kali ia pulang terlambat dari sekolah atau tak segera terlihat di rumah, ibunya langsung mencurigai yang terburuk. Tangan Nia melayang tanpa ampun, diiringi tuduhan-tuduhan tajam; bahwa Mary diam-diam menemui ayahnya. 

Memasuki bulan kedua, Mary mulai mati rasa. Rasa sakit, baik yang meninggalkan bekas di kulit maupun yang mengendap dalam batin, perlahan menjadi bagian dari keseharian. Ia belajar untuk diam, menerima kemarahan Nia seperti hujan yang tak bisa dihentikan. Tak ada tangis. Tak ada pembelaan. Hanya pasrah yang sunyi. 

Yang Nia inginkan hanya satu: Harit kembali ke sisinya seperti dulu. Tapi keinginan itu mustahil. Pria itu telah menikah lagi dan membangun kehidupan baru bersama istri dan putranya. Bahkan, lebih mustahil lagi karena ada satu perjanjian yang tak Mary pernah lupakan, sebuah cerita yang ayahnya sampaikan sebelum ia memutuskan untuk tinggal bersama ibunya. 

“Kalau kamu benar-benar ingin tinggal di sana, Ayah akan izinkan. Tapi ada dua syarat. Pertama, kalau terjadi sesuatu yang buruk, segera hubungi Ayah. Kalau tidak bisa, hubungi sahabat ayah. Kedua, Ayah dan Ibu tidak bisa mengantarmu sampai ke depan gerbang rumah ibumu.” 

Mary, saat itu tidak memahami maksud di balik syarat itu. Dengan wajah polosnya ia bertanya, “Kenapa? Kenapa Ayah dan Ibu enggak bisa antarkan aku ke sana?” 

Ia masih ingat ekspresi ayahnya–campuran getir dan keraguan. Ada sesuatu yang tidak dikatakan, dan Mary bisa merasakannya. 

“Karena saat Ayah membawamu dari sana, Ayha dan keluarga ibumu membuat perjanjian. Ayah tak boleh menginjakkan kaki di kota itu selama ibumu masih hidup. Hal yang sama berlaku untuk Ibu Ferno. Tapi tidak untukmu. Kamu bebas memilih. Itu isi perjanjiannya.” 

Mary masih tidak mengerti. Ia mencoba bertanya lebih jauh, tapi sang ayah mengalihkan pembicaraan. 

Dan sekarang, ia mulai mengerti segalanya. 

Ibu kandungnya, Nia, masih terjebak dalam masa lalu. Terobsesi pada ayahnya, meski hubungan mereka telah lama berakhir. 

“Bu, aku pulang.” 

Suara Mary menggema pelan di dalam rumah yang sepi, tapi penuh ketegangan. Dan seperti biasa, Nia sudah menunggunya. Tatapan matanya tajam seperti pisau, penuh tuduhan yang menyakitkan. 

“Kamu terlambat lagi, Mary! Kamu pasti ketemu ayahmu, kan?” 

Langkah Nia cepat, nyaris menerjang. Tangan itu terangkat, lalu mendarat di bahu Mary. Ia mengguncang tubuh anaknya dengan kasar, seolah mencoba menggali kebenaran dari getaan tubuh yang lemah itu. 

“E-engga, Bu. Mary cuma terlambat karena urusan sekolah.” 

Tapi jawaban itu tak pernah cukup. Tak pernah dipercaya. 

“Kamu bohong! Kamu pasti nemuin ayahmu kan?” 

Dan seperti adegan yang terus berulang, tangan Nia kembali melayang. Kali ini mendarat di pipi Mary. Satu tamparan. Disusul pukulan-pukulan yang lain, entah ke mana saja arahnya. Wajah, lengan, punggung, apapun yang bisa dijangkau oleh kemarahan yang membutakan. 

“Kamu anakku, kan?! Harusnya kamu bisa bawa ayahmu pulang ke rumah ini! Kenapa kamu enggak bisa, Mary?!” 

Tamparan lain menyusul. Kali ini lebih keras. 

Dan belum berhenti. 

“Kalau kamu enggak bisa bawa ayahmu pulang, kamu bukan anakku, Mary! Kamu cuma beban! Kamu cuma pembawa sial dalam hidupku!” 

Buk! Buk! Buk! 

Pukulan demi pukulan mendarat seperti palu ke tubuh Mary. Sudah dua bulan berlalu. Harusnya ia sudah kebal. Harusnya rasa sakit itu tak terasa lagi. 

Lihat selengkapnya