IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #12

EMPAT PENOLONG

Reiner. 

Awalnya Mary mengira hanya Reiner tang berdiri di depannya–sosok itu, dengan punggung lebar yang sudah ia lihat sebelumnya. Tapi saat penglihatannya mulai jelas, ia menyadari ada satu sosok lain berdiri di sampingnya. Seorang anak laki-laki dengan mata penuh kecemasan. Glen. 

“Ka-kalian? Kenapa-” 

Suara Mary terdengar lemah dan bergetar. Ia tak percaya Reiner–anak yang selama ini selalu mengerjainya setiap saat–kini berdiri di sana, menjadi pelindung antara dirinya dan ibunya sendiri.  

Punggung itu lagi. 

Tegap. Tak tergoyahkan. 

Seperti tembok yang menolak runtuh meski diterjang badai. 

Mary mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa berat. Rasa sakit menusuk dari ujung kaki hingga pergelangan tangan. Ia berusaha menahan napas, menahan nyeri. Glen segera bergerak, menopangnya dengan hati-hati, sementara Reiner tetap berdiri di posisi semula, membentengi mereka berdua. 

“Tentu saja nolong kamu,” ucap Reiner melirik sedikit ke belakang. Suaranya datar, tapi raut wajahnya sulit dijelaskan. Antara prihatin, marah dan bingung. 

“Ma-makasih, tapi aku enggak-” 

Mary memandang mereka dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin menolak, ingin berkata bahwa ia tak butuh bantuan. Tapi kalimat itu belum sempat selesai ketika Nia, sang ibu, berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah. 

Apa amarah Ibu sudah selesai? 

Reiner akhirnya menoleh, menatap Mary. Tatapannya tajam, tapi di balik ketajaman itu ada kekhawatiran yang nyata. 

“Kamu udah babak belum kayak gini, masih bilang enggak butuh bantuan? Kamu benar-benar … aneh, Mary.” 

Mary tersenyum tipis. Lemah. Tapi hangat. Kata ‘aneh’ yang keluar dari mulut Reiner justru terasa akrab bahkan menenangkan. 

Ia sadar, mungkin memang hanya dirinya yang cukup bodoh untuk bertahan di tempat seperti ini. Hanya dirinya yang berharap bahwa suatu hari ibunya akan berubah. 

“Cepat pergi dari sini! Terima kasih untuk bantuannya, tapi … kalian enggak seharusnya-” 

Namun kalimat itu terputus. 

Dari arah rumah, Nia muncul kembali. 

Di tangannya ada sebilah pisau dapur yang berkilat tertimpa cahaya sore. 

“Kalau kamu enggak bisa ayahmu balik ke rumah ini, enggak ada gunanya kamu hidup sebagai putriku! Lebih baik kamu mati saja, Mary!” 

Tubuh Mary membeku. Glen dan Reiner, berbalik. Keduanya bergidik. 

Mata ketiganya membelalak. Mereka tak pernah membayangkan akan melihat seorang ibu mengangkat pisau ke arah anaknya sendiri. 

Reiner dan Glen, sempat mengambil satu langkah mundur. Sorot mata mereka berubah, dari terkejut menjadi waspada. Sekejap, otak mereka mencari puluhan cara untuk bertindak: melindungi Mary, menghentikan Nia, menghindari pisau itu. 

Mendadak, Glen tak bisa bergerak. Kakinya seolah tertanam di tanah. Tubuhnya gemetar dan pikirannya kosong. Ini pertama kalinya ia melihat seseorang dengan tatapan mata dingin, penuh amarah dan niat membunuh. Rasa takut yang datang, berhasil menenggelamkan tujuan awal kedatangannya, bahkan logikanya. 

Sementara itu, Reiner tetap berdiri tegak. 

Pisau itu berbahaya, ia tahu. Tapi rasa takut bukan pilihan. Di belakangnya ada seseorang yang terluka, seseorang yang bisa kehilangan nyawa jika ia mundur satu langkah lagi. 

Nia mempercepat langkahnya, bersiap untuk menyerang apapun yang menghalanginya. 

Reiner mendorong Glen menjauh. Berusaha menyelamatkan nyawa teman baiknya yang ditelan rasa takut. Tanpa ragu, ia kemudian memutar tubuhnya dan memeluk Mary–menggunakan dirinya sendiri sebagai perisai hidup. 

Namun yang terjadi berikutnya justru tak ia duga. 

Lihat selengkapnya