Nia kini dirawat di rumah sakit jiwa.
Dari informasi yang didapat Harit, pihak kepolisian menyatakan bahwa kondisi mental wanita itu tidak stabil. Penanganan segera diperlukan. Jadi, bukannya mendekam di penjara atas kekerasannya pada Mary, Nia justru dikirim ke rumah sakit jiwa. Ironis.
Kota Smara masih mempertahankan wajah tuanya yang asri dan tenang. Ada tiga rumah sana: satu rumah sakit umum, satu rumah sakit swasta, dan satu rumah sakit jiwa yang terletak di pinggiran kota–jauh dari keramaian, dikelilingi pephonan, seolah menjadi tempat pengasingan yang terselubung rapi.
Begitu sampai di lobi rumah sakit jiwa, Harit menghampiri meja pendaftaran. Tanpa ragu, ia mengeluarkan kartu identitas dan menyatakan tujuannya.
“Saya ingin menemui pasien bernama Nia Felora,” ucapnya singkat.
“Apa hubungan Baak dengan pasien?” tanya petugas perempuan di balik meja, menatapnya dengan ragu.
“Saya mantan suaminya.”
Tak perlu waktu lama. Setelah beberapa menit menunggu, permintaannya disetujui. Seorang petugas laki-laki mengantarnya melewati lorong sepi menuju ruang kunjungan—sebuah ruangan berdinding kaca tebal yang memisahkan pengunjung dari pasien. Petugas itu memberi sebuah penjelasan singkat: kondisi Nia semakin memburuk. Saat diinterogasi polisi, ia sama sekali tak menunjukkan penyesalan. Ia menganggap perbuatannya benar. Di sini pun, Nia menolak menjalani perawatan, yakin bahwa dirinya tidak sakit.
“Harit!”
Suaranya masih sama. Riang. Seolah apa yang ia lakukan pada Mary tak pernah terjadi.
Di balik kaca, Nia duduk dengan tubuh terbungkus jaket pengekang berwarna putih–khusus untuk pasien yang dianggap membahayakan diri sendiri atau orang lain. Tangannya terikat, tapi wajahnya berseri-seri. Ia tersenyum cerah, seperti menyambut kekasih lama.
Sesaat, Harit terdiam. Di tengah senyum penuh dosa itu, ia dilanda gelombang sesal yang menyesakkan. Ia ingat hari ketika Mary memintanya untuk tinggal bersama dengan ibu kandungnya. Ia menyetujui permintaan itu–demi kejujuran, demi memberi kesempatan. Tapi ternyata, ia hanya menyerahkan putrinya ke mulut harimau. Dan kini, rasa bersalah itu menghantamnya tanpa ampun.
“Akhirnya kamu datang padaku, sayang,” ucap NIa, matanya berbinar.
Harit mengepalkan jemarinya. Kalau bukan karena kaca tebal itu, ia mungkin sudah menghampiri wanita itu dengan kemarahan yang selama ini dikuburnya dalam-dalam. Ia bukan tipe pria yang akan menyakiti perempuan–ayah dan ibunya selalu menanamkan bahwa perempuan harus dilindungi. Tapi Nia … dia bukan perempuan yang layak ia lindungi. Wanita itu adalah luka hidup. Luka yang menoreh dalam di hidup Harit dan kini, di hidup Mary.
“Kamu enggak berubah, Nia,” katanya dingin.
Alih-alih tersinggung, wanita itu tersenyum semakin lebar. Seolah kalimat Harit adalah pujian yang membesarkan hati.
“Tentu saja aku enggak berubah. Cintaku padamu masih sebesar dulu, Harit.”
Harit menggeleng pelan. Bukan cinta, batinnya. Itu bukan cinta. Itu adalah obsesi yang mencekik. Yang membusuk. Yang mengikis nurani.
Ia menatap Nia dalam-dalam, nada suaranya kini tegas dan tak goyah. “Aku kira setelah bertahun-tahun hidup dalam kesepian, kamu akan berubah. Aku kira, dengan kehadiran Mary-putri kandungmu, kamu akan sadar dan menebus kesalahanmu di masa lalu pada Mary. Tapi, aku salah. Kamu … sama sekali enggak berubah.”
Nia mencoba berdiri. Namun pakaian yang membatasi geraknya, membuatnya susah payah bangkit. Meski begitu, ia meronta, mencoba mendorong sekat kaca seolah bisa menembusnya.
“Dengarkan aku, Harit! Kalau memang Mary itu anak kandungku, kenapa dia enggak manggil kamu saat aku memintanya? Kenapa dia cuma diam, saat aku memukulinya?! Kenapa dia enggak langsung bawa kamu padaku, hah?”