IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #14

KISAH HARIT DAN NIA PART 2

Dua hari berlalu. 

Mary akhirnya bisa pulang dari rumah sakit. 

Seharusnya, ia langsung kembali ke kota Prema–ke rumah hangat yang selama ini menjadi tempatnya berteduh. Tapi Mary membuat keputusan yang berbeda. Ia memilih untuk tetap tinggal di kota Smara. Kota kecil itu, meski menyimpan luka, juga menyimpan banyak hal yang tak ingin ia lepaskan begitu saja. 

Keputusan itu bukan tanpa alasan. 

Pertama, Mary tak ingin membebani ayahnya dengan urusan pindah sekolah lagi. Proses perpindahan sebelumnya saja sudah cukup merepotkan. Bila ia kembali ke kota Prema sekarang, dan harus pindah sekolah dalam hitungan, Mary hanya akan merasa semakin bersalah. 

Kedua, ia menyukai Smara. Ada ketenangan dalam tiap paginya. Udara segar, jalanan lengang, dan suasana alam yang asri membuat Mary merasa nyaman. Walau kota itu menyimpan kenangan buruk, Mary juga menemukan sisi lain dari Smara: sisi yang hangat dan jujur. 

Ketiga, ia menyukai teman-teman barunya. Terutama empat anak laki-laki yang selalu menghiasi harinya: Reiner, Glen, Shin, dan Leo. Dalam dua bulan terakhir, Reiner memang selalu menjahilinya. Tapi setelah melihat bagaimana Reiner berusaha melindunginya, bukan hanya sekali, tapi dua kali, Mary menyadari bahwa anak laki-laki itu punya sisi baik yang selama ini mungkin selalu disembunyikannya rapat-rapat. Dan Mary? Ia mulai menyukai sisi itu. 

Keempat, Mary belum ingin menyerah pada ibu kandungnya. 

Ia tahu, Nia kini berada di balik dinding rumah sakit jiwa. Keluarga besar dari pihak Nia pun akhirnya menyerah. Mereka yang dulunya menjadi sandaran, kini tak lagi sanggup menghadapi ledakan emosi wanita itu. Dan Mary, meski tahu betapa rumit dan berbahaya situasi itu, masih memiliki sepotong harapan. Ia ingin tetap mengunjungi ibunya, sekedar melihat, sekedar mengingat bahwa Nia masih ada. 

Awalnya, Harit tentu saja menolak permintaan itu mentah-mentah. Ia tak mau anaknya tinggal di kota yang menyimpan trauma. Apalagi, kembali dekat dengan bayang-bayang yang membuat Mary hampir kehilangan segalanya. 

Namun, Pandu–sahabat lama Harit–datang membawa tawaran jalan tengah. “Biarkan Mary tinggal di panti asuhan. Aku yang akan menjaganya, Harit. Kali ini, aku benar-benar akan menjaga Mary,” ujarnya dengan tatapan penuh kesal. 

Ia tahu, dua bulan yang lalu, ia telah lalai. 

Ia tak melihat apa yang sebenarnya dialami Mary, padahal gadis itu begitu dekat dengannya. 

Harit sempat ragu. Tapi Pandu berbicara lagi. 

“Biarkan dia tinggal bersama dengan anak-anak lain, di kota ini. Kota kelahirannya. Bukankah dengan begitu, ia bisa membangun kenangan baru? Kenangan yang lebih baik, Harit.” 

Dan Harit tahu, Pandu benar. 

Smara adalah kota di mana Mary lahir. Dan sebagai ayah, ia tak ingin kota kelahiran anaknya hanya meninggalkan luka. Sama seperti yang pernah ia rasakan dulu. 

Lihat selengkapnya