IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #15

KISAH HARIT DAN NIA PART 3

Sebagai anak dari seorang pelayan, Harit tumbuh menjadi pribadi yang berbakti dan cerdas. Ia selalu menjadi juara, bukan hanya di kelas, tapi di seluruh sekolah. Meski tak pernah mengikuti les dan harus membagi waktunya untuk membantu kedua orang tua, nilai-nilainya tetap konsisten gemilang. Semua itu membuat harapan tumbuh di hati kedua orang tuanya. Harapan bahwa Harit akan memiliki masa depan yang jauh lebih baik daripada mereka. 

“Kalau kamu mau kuliah, Ayah dan Ibu akan usahakan sebisanya,” ujar ayahnya suatu malam, dengan mata yang menyimpan semangat sekaligus kecemasan. 

Harit tersenyum dan menjawab mantap, “Ayah, Ibu, jangan khawatir. Aku akan berusaha mendapat beasiswa. Kalian tak perlu repot-repot soal biaya.” 

Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Saat hari tes beasiswa yang telah lama dinanti akhirnya tiba, musibah datang tak terduga. Ayah Harit, yang tengah bekerja di kebun milik keluarga tuannya, mengalami kecelakaan bersama beberapa pekerja lain. Ia harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis. 

Meski sang ibu mendesaknya untuk tetap mengikuti ujian, Harit tak sanggup pergi. Ia takut menyesal seumur hidup bila hari itu menjadi saat terakhir ia melihat ayahnya. Untungnya, ketakutannya tak menjadi kenyataan. Ayahnya selamat, meski mengalami patah tulang kaki yang tidak bisa ditangani secara optimal karena keterbatasan biaya. Sang ayah kini berjalan pincang. 

Yang paling melukai hati ayah Harit bukanlah kondisi kakinya, tapi kenyataan bahwa anaknya telah mengorbankan masa depannya demi dirinya. Merasa bersalah, ia memberanikan diri menemui tuannya untuk pertama kalinya dalam hidup, dan memohon sesuatu yang selama ini tak pernah ia minta. 

“Tuan,” katanya lirih, menahan rasa malu. “Saya tahu, saya hanya pelayan. Tapi hari ini, saya memberanikan diri datang memohon. Karena saya, Harit melewatkan kesempatan emas untuk kuliah. Saya datang  demi masa depan Harit.” 

Ayah Nia, tuan rumah sekaligus pemilik perkebunan tempat ayah Harit bekerja, menatapnya lama. Ia adalah pria bijak, jauh berbeda dari putrinya yang sulit dikendalikan. Ia dan istrinya dikenal sebagai orang baik, yang dihormati oleh semua pekerja karena ketulusan dan empatinya. 

“Bapak ingin meminjam uang untuk kuliah Harit?” tanyanya tenang. 

“Iya, Tuan. Kalau Tuan mengizinkan … “ 

Pria itu tersenyum hangat. “Aku tahu anak Bapak. Harit anak yang pintar. Sangat disayangkan kalau dia tidak kuliah. Tenang saja … berapa pun biayanya, akan aku bantu. Bapak tak perlu khawatir. Aku percaya pada Bapak, juga pada Harit.” 

Dengan bantuan itu, Harit pun bisa melanjutkan kuliah ke kota Prema, membawa harapan baru untuk masa depan. 

Pada tahun kedua kuliahnya, Harit jatuh cinta pada Yasmin–gadis yang bukan hanya cantik, tapi juga penuh empati. Setelah enam bulan perjuangan, cintanya berbalas. Yasmin menerima Harit apa adanya, tanpa peduli latar belakangnya sebagai anak pelayan. 

Meski telah menjalin hubungan, mereka sepakat untuk fokus menyelesaikan kuliah terlebih dahulu. Harit pun bertekad melunasi hutang ayahnya sebelum menikahi Yasmin.ia memperkirakan dua tahun cukup untuk menabung dan merintis masa depan mereka. Tapi semua itu berubah ketika Nia mengetahui hubungan mereka. 

Lihat selengkapnya