Mary membeku.
Dunia di sekelilingnya terasa sunyi, seakan waktu sengaja berhenti hanya untuk memberinya ruang mencerna semua yang baru saja ia dengar. Pikirannya kacau. Hatinya bak diaduk. Semua kenyataan tentang masa lalu datang serentak, menghantam tanpa ampun.
Sudah cukup menyakitkan mengetahui bahwa pernikahan orang tuanya–yang menjadi awal kehidupannya–berdiri bukan di atas cinta, melainkan karena kewajiban dan tekanan. Namun kini, fakta lain muncul. Bahkan lebih menyayat adalah sang ayah ternyata memilih berpisah demi melindunginya. Dan yang paling tak masuk akal di pikirannya, sang ibu–wanita yang mengandung dan melahirkannya–justru menjadi sosok yang menyakitinya karena kecemburuan buta.
Sekilas, kenangan masa kecilnya yang samar-samar kembali bermunculan. Tatapan tajam ibunya, bentakan keras dan rasa panas yang membekas di punggung kecilnya. Ia mulai bertanya dalam hati untuk kesekian kalinya: Pernahkah Ibu mencintaiku, walau sejenak?
“Cerita ini pasti mengejutkan, Mary?”
Suara Harit memecah keheningan. Suaranya pelan, tapi terdengar berat. Ada sesal di dalamnya.
Mary mengangguk, lalu menggeleng pelan. Napasnya tersendat. “I-iya aku terkejut, Yah. Tapi aku memang harus tahu. Aku harus tahu kenapa Ibu selalu ingin bertemu Ayah sampai-sampai menyakitiku.”
Harit mengusap kepala putrinya, lembut, mencoba untuk menenangkannya. “Sekarang kamu sudah tahu, Nak…. Ayah tidak pernah berkata bahwa Ibumu tidak mencintaimu. Saat mengandung dan melahirkanmu, dia terlihat sangat bahagia. Wajahnya begitu bersinar saat menggendongmu untuk pertama kalinya.”
Ia menatap kejauhan, matanya berkabut. Sebuah rumah besar berdiri di sana–rumah yang dulu ia tinggal bersama Nia, ketika segalanya masih terlihat bisa diperjuangkan.
“Tapi … ada banyak alasan kenapa ibumu berubah. Kenapa ia mulai cemburu pada anaknya sendiri.”
Cerita Harit berlanjut, membuka pintu masa lalu yang tak pernah Mary ketahui.
Pertengkaran antara Harit dan Nia, membuat Mary menangis histeris. Tangis itu mengguncang rumah, membuat semua orang terkejut dan berdatangan. Ayah dan Ibu Nia, serta Ibu Harit menatap pemandangan itu dengan kebingungan dan ngerti.
Setelah mendengar penjelasan singkat Harit mengenai apa yang terjadi pada Mary, Ayah Nia memandang tajam ke arah putrinya sendiri. Ia bersama dengan istri dan Ibu Harit, akhirnya paham tindakan Harit selama setahun terakhir yang berusaha keras untuk tidak membiarkan Mary berdua dengan ibu kandungnya.
“Apa kamu sudah gila, Nia?!” bentaknya, suaranya menggema memenuhi ruangan. “Mary itu anak kandungmu! Apa yang kamu lakukan?!”
“Aku menyesal telah melahirkannya, Yah!” jawab Nia lantang, histeris. Matanya liar, penuh amarah dan kekecewaan. “Anak itu merebut Harit dariku! Dia mengambil semua perhatian Harit dariku!”
Semua orang terdiam, terpaku mendengar pengakuan itu.
Ayah Nia menggeleng pelan, sorot matanya penuh luka. “Apa yang ada di pikiranmu, Nia…?” ucapnya lirih. “Ini semua salah Ayah. Salah ayah karena mendidikmu tanpa batas, hingga kamu tumbuh dengan rasa ‘memiliki’ yang salah.”
Ia kemudian menatap Harit dengan sesal yang tak bisa disembunyikan. “Maafkan Ayah, Harit. Maaf karena membuatmu menikah dengan putriku yang bermasalah.”
Sementara pertengkaran terus berlangsung, Ibu Harit tak tinggal diam. Ia segera menghampiri Harit dan Mary, merengkuh cucunya dari pelukan sang ayah. Tubuh Mary gemetar, kulit punggungnya melepuh. “Harit,” panggil sang ibu panik. “Kita harus bawa Mary ke dokter sekarang.”
Tanpa banyak bicara, Harit mengangguk. Ia segera mengantar putrinya ke klinik terdekat, berharap luka itu tidak berbekas.
Namun harapan hanya jadi harapan. Penanganan yang terlambat membuat luka itu menetap. Bekas luka di punggung Mary jadi saksi bisu tentang kekejaman yang datang bukan dari orang asing, melainkan dari ibu kandungnya sendiri.
Sejak hari itu, Mary berubah. Ia mulai menangis histeris setiap kali melihat Nia. Ia tak bisa tidur dalam gelap. Ia tak mau ditinggal sendiri.
Dan sebagai ayah, Harit tahu ia tak bisa membiarkan putrinya terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Maka dengan tekad bulat, ia menemui ayah mertuanya. Bukan lagi sebagai menantu, melainkan sebagai ayah yang memperjuangkan keselamatan anaknya.
“Ayah …” panggil Harit, suaranya rendah, tapi tegas. “Aku ingin bicara.”
Sejak menikah, Harit tak pernah lagi memanggilnya ‘Tuan’. Kini panggilan itu berubah mewakili kedekatan keluarga, juga luka yang sama-sama mereka bagi.
Ayah Nia menatapnya, sorot matanya lembut. Tapi di baliknya, tampak jelas penyesalan yang dalam. “Aku tahu,” katanya pelan. “Ini soal Mary, kan?”