“Hati-hati, Nak. Jaga Mary dengan baik.”
“Iya, Bu. Aku akan pastikan menjaga Mary dengan baik. Aku akan memastikan dia tumbuh dengan baik, Bu.”
Setelah membuat perjanjian bahwa kejadian buruk yang menimpa Mary akan dikubur dalam-dalam dan Nia yang harusnya dikirim ke dokter akan dirawat di rumah saja, Harit bisa pergi dengan membawa Mary.
Nia tentu saja tidak terima dengan perpisahan itu. Tapi ancaman dari sang ayah mengenai mengungkap kejadian itu dan mengirimnya ke rumah sakit jiwa, membuat wanita itu tidak bisa memilih selain melepaskan pria yang dicintainya pergi bersama dengan putri kecil mereka.
“Ayah enggak bisa begini denganku!” Nia berlutut dan memohon untuk pertama kalinya pada sang ayah. “Ayah enggak boleh biarkan Harit pergi! Kumohon Ayah, jangan biarkan Harit pergi dan kembali pada wanita itu!”
Harit tahu perasaan ayah mertuanya saat itu. Pasti sangat sakit seolah hatinya diiris-iris. Tapi mereka tidak punya pilihan lain. Mary akan dalam bahaya jika terus tinggal dengan ibu kandungnya. Dan Nia sudah waktunya untuk menyadari bahwa semua hal tak bisa berjalan seperti keinginannya. Meski terlambat, tapi … itu pasti cukup untuk jadi pelajaran berharga untuknya.
Kepergian Harit dan Mary, penuh dengan air mata.
Banyak yang merasa sedih, banyak yang tak berpisah, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Pilihan ini harus dilakukan demi Mary. Demi masa depannya.
Setelah pergi, Harit kembali ke kota Prema. Awalnya … ia tidak ingin muncul di depan Yasmin. Ia merasa bersalah pada kekasihnya karena di masa lalu dengan mudahnya percaya pada surat yang disabotase Nia, tidak memastikan kebenaran itu dengan benar dan mengambil keputusan dengan cepat menikahi Nia.
Ia terlalu malu untuk muncul di depan Yasmin lagi.
Tapi wanita itu adalah seseorang yang baik. Pertemuan mereka tidak disengaja dan Yasmin sama sekali tidak marah pada Harit. Ia justru menerima Harit dan Mary dengan tangan terbuka dan sikap yang hangat.
“Ayah mertuamu mengirimiku surat. Dia menjelaskan segalanya yang terjadi padamu, pada putrimu, Mary,” ucapnya lembut.
Mendengar kalimat itu, air mata Harit jatuh.
Sembari menggendong Mary, pria itu menangis. Ia menangis karena ada terlalu banyak hal yang ingin ia jelaskan, tapi tak tahu dari mana. Ia menangis karena kekasihnya itu begitu baik hati setelah apa yang diperbuatnya di masa lalu. Dan yang paling menyakitkan adalah wanita itu kini menerimanya lagi dengan senyum lembut tanpa sedikit pun wajah menyalahkan.
Setelah menikah lagi dengan Yasmin, Harit menepati janjinya. Selama belasan tahun, ia tak pernah menginjakkan kakinya lagi di kota Smara. Ia tak lagi datang ke kota itu, meski merasa sangat rindu. Ia tak lagi datang ke kota kelahirannya itu bahkan ketika satu persatu orang yang ia sayangi dan hormati pergi. Dimulai dari ibunya, kemudian ayah mertuanya dan terakhir ibu mertuanya. Kabar duka itu hanya bisa didengarnya dari sahabatnya–Pandu.
Harit menepati janjinya hingga detik di mana Mary memaksa untuk tinggal bersama dengan Nia, ibu kandungnya.
Tapi saat mendengar kabar bahwa Nia kembali mengulangi perbuatan ‘kejamnya’ pada Mary, pria itu melanggar janjinya. Bukan karena sengaja, tapi karena memang harus.