IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #19

CINTA PERTAMA: SHIN PART 1

“Shin!!” teriak Reiner geram dengan nada penuh kejengkelan. 

“Apa lagi, Rei?” sahut Shin, mendengus kesal. Bukan sekali ini saja Reiner berterika padanya hari ini. 

“Kamu berisik sekali.” 

“Ini mulutku. Mau aku banyak bicara atau enggak, itu terserah denganku, Rei. Kalau kamu terganggu, tutup saja telingamu itu, Rei,” balas Shin, sengaja memancing. 

Seperti biasa, baik Shin dan Reiner, tidak ada yang mau mengalah. 

Hari itu tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Mary pulang sekolah bersama dengan Reiner, Shin, Glen, dan Leo. Sejak insiden beberapa waktu lalu, keempat anak laki-laki itu seperti enggan melepasnya sendiri. Mereka seolah menjadi pengawal pribadi Mary–berangkat dan pulang sekolah selalu bersama. Bahkan jika Mary harus pulang terlambat karena kegiatan ekstrakurikuler, setidaknya dua dari mereka akan setia menunggu. 

Mary menduga, Pandu—sahabat baik ayahnya–mungkin yang meminta mereka untuk selalu ada di dekatnya, memastikan ia baik-baik saja. 

Kondisinya memang sudah jauh membaik. Lebam di tubuhnya menghilang perlahan, dan mimpi buruk tak sesering dulu. Tinggal di panti asuhan, tidur bersama anak-anak perempuan lain, memberi rasa aman. Tapi suara keras–terutama yang menyerupai pukulan, masih membuat tubuhnya tersentak, kenangan akan tiap hantaman tangan Nia, ibu kandungnya, belum sepenuhnya memudar. 

Mungkin itulah alasan Pandu meminta Reiner, Shin, Glen, dan Leo selalu berada di dekatnya. Dan Mary tak keberatan. Pertama, karena mereka tinggal di bawah atap yang sama. Kedua, mereka teman sekelas. Ketiga … masing-masing dari mereka punya keunikan yang menarik. 

Pertama, Shin. 

Nama lengkapnya Anthony Shine Jayden–nama pemberian pemilik panti sebelumnya, sebelum ia pindah ke kota Smara. Di antara mereka, Shin yang paling cerewet. Senyumnya mudah muncul, tawanya gampang pecah hanya karena hal kecil. Wajahnya cukup tampan; oval dengan sentuhan oriental, mata coklat keemasan berbentuk bulat, rambut kecoklatan yang kontras dengan kulitnya yang seputih salju. Bahkan Mary kadang minder karena kulit Shin lebih pucat darinya. 

Meski terkenal sedikit nakal, Shin punya daya tarik aneh—magnet yang membuat orang mudah nyaman di dekatnya. Karena itu ia, seperti pusat arus informasi di kelas. 

“Tutup mulutmu itu, Shin! Telingaku sakit!” serang Reiner lagi. 

Kedua, Reiner. 

Reinerio Johan Mahandi atau yang biasa dipanggil Reiner, kadang Rei. 

Di antara lingkaran pertemanan keempat anak laki-laki itu, Reiner selalu tampak seperti pemimpin. Setidaknya, begitu yang Mary lihat. Karena ketika Reiner bilang tidak, tiga anak lainnya juga akan mengikutinya. 

Mungkin karena ia lebih berani, mungkin juga karena ketegasannya yang tak dimiliki yang lain. Mana yang benar, Mary tak tahu tepatnya. Tapi mengingat keberaniannya melindunginya–bukan hanya sekali–ia condong pada pilihan pertama. 

Reiner bukan tipe anak yang selalu diam. Ada kalanya ia banyak bicara, terutama jika berhadapan dengan Shin. Namun jika tak perlu, ia bisa diam dalam waktu lama, hanya mengamati. Ucapannya sering terdengar dingin, kadang menusuk, tapi jarang tanpa alasan.  

Di balik wajahnya–campuran Eropa dan Jawa dengan bentuk sedikit oval, kulit sedikit pucat dan mata almond berwarna hitam–tersimpan sesuatu yang tak selalu terlihat: kehangatan. Mary masih mengingat dengan jelas bagaimana ia mendorong Glen yang ketakutan demi melindunginya. Di balik sikap dingin itu, Mary tahu, Reiner adalah tipe yang selalu menempatkan keselamatan orang lain di atas dirinya sendiri. 

Bagian ini … mengingatkan Mary akan dirinya sendiri. 

Shin, tak ingin kalah, langsung mendekat pada Leo, berusaha mencari perlindungan seperti yang biasa ia lakukan. “Leo! Rei marah lagi! Ini sudah kelima kalinya hari ini!” 

Lihat selengkapnya