IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #20

CINTA PERTAMA: SHIN PART 2

Musim ujian akhirnya berlalu, dan seperti tradisi setiap tahun, sekolah menggelar rangkaian acara hiburan. Halaman sekolah berubah menjadi pusat keramaian: lapangan dipenuhi perlombaan antar kelas–futsal, basket dan lari estafet, sementara aula dipenuhi tawa, musik dan wangi makanan dari bazar. Kelas Mary sepakat untuk menampilkan sebuah pertunjukan teater dari pada bazar makanan. 

Reiner, Leo, dan Glen langsung memilih cabang olahraga. Wajar saja, mereka adalah tipe yang tak bisa diam kalau ada bola atau lintasan di depan mata. Sementara itu, Shin tidak suka terlalu berkeringat di bawah terik matahari. Jadi ia ikut di kelompok teater. Lalu Mary yang tergabung di ekstrakurikuler melukis, mendapat tugas membuat dekorasi panggung sekaligus membantu merancang cerita. 

Dia benar-benar menekuni perannya: membaca novel, cerita populer hingga naskah drama klasik. Dari situ, beberapa pemeran pun dipilih. Dan entah bagaimana, wajah Shin dianggap cocok untuk salah satu peran utama. 

Sore itu, Shin iseng keluar dari halaman belakang panti asuhan. Reiner, Glen, dan Leo sedang bermain sepak bola dengan anak-anak di taman belakang, tawa mereka bercampur dengan teriakan kecil dari para penonton yang kebanyakan adalah anak-anak perempuan. Lalu Shin? Duduk jadi penonton, membuatnya bosan. Jadi ia berjalan, mencari udara segar, dan … 

Di ujung taman, di sebuah kursi besi yang setengah tertutup bayangan pohon, ada Mary. Kepalanya menunduk, dikelilingi tumpukan buku di pangkuan dan di sebelahnya.jari-jarinya sibuk membalik halaman, alisnya sedikit mengerut. Dan di wajahnya–sebuah kacamata tipis bertengger manis di atas hidungnya. 

Shin tertegun. 

Mary dengan kacamata terlihat … berbeda. Bukan sekedar manis–cantik. Cantik yang membuat udara di sekitar seolah menghangat, membuat mata sulit beralih. 

Dag, dig, dug. 

Jantung Shin berdetak tak karuan. Waktu terasa melambat. Angin sore yang tadi sepoi-sepoi entah mengapa mendadak hilang. Rasanya seperti dada Shin terlalu kecil untuk menampung degupan ini. 

Apa-apaan ini?  batinnya panik. Kenapa jantungku seperti mau melompat keluar? 

Shin menekan dadanya, berharap itu cukup untuk meredam debarannya. Otaknya mencoba mencari penjelasan logis: mungkin karena ia tak pernah melihat Mary dengan kacamata, mungkin juga karena cahaya sore  yang jatuh tepat di wajahnya … atau mungkin karena ia memang sudah melihat Mary terlalu lama.

“Hei,Shin!” 

Suara Mary memecah lamunannya. 

Shin tidak menjawab. 

“Shin!” 

Panggilan kedua Mary seperti menariknya kembali ke dunia nyata. Shin tersentak. 

“Ehm?” gumamnya, lalu melangkah mendekat. Shin duduk di samping Mary, memberi jarak secukupnya, seolah jarak itu bisa menahan gadis itu dari mendengar kerasnya debaran jantungnya. 

“Kenapa tadi diam saja?” tanyanya sambil melirik Shin heran. 

Lihat selengkapnya