IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #22

CINTA PERTAMA: GLEN PART 2

Hari kelulusan akhirnya datang. 

Sekolah mengadakan perayaan kecil, lengkap dengan panggung sederhana yang dihiasi pita dan balon warna-warni. Suasana hangat, penuh tawa, namun juga sarat dengan rasa haru yang menempel di udara. 

Seperti tradisi setiap tahun, siswa dengan nilai ujian tertinggi diminta memberikan pidato singkat untuk memotivasi adik kelas. Tahun ini, seharusnya nama itu jatuh pada Reiner–pemilik nilai ujian, nilai ijazah dan predikat lulusan terbaik. Namun, Reiner tetaplah Reiner: anak laki-laki yang menghindari pusat perhatian seperti menghindari penyakit menular. 

“Kalau Bapak maksa aku naik panggung, aku bakal kasih saran gini: “Jadilah anak nakal. Sering buat ulah di sekolah, buat pusing guru dan wali kelas. Tidur di kelas, lalu main ke warnet sepulang sekolah. Itu caraku jadi pintar.’ Gimana, Pak? Mau aku bilang begitu di depan semua orang? Aku jamin … tahun depan Bapak akan semakin pusing,” katanya dengan nada datar yang mengandung peringatan. 

Mantan wali kelasnya hanya bisa mengangkat tangan menyerah. Memaksa  Reiner berarti mengundang bencana, dan bencana itu sudah jelas bentuknya. 

Akhirnya, pilihan guru jatuh pada dua nama berikutnya dalam daftar nilai tertinggi: Leo dan Glen. Leo menolak dengan sopan, alasan klasiknya–ia tak nyaman jadi pusat perhatian. Sedangkan Glen menerimanya tanpa ragu. Anak itu memang tak banyak bicara sehari-hari, tapi menerima tantangan di hadapan banyak orang bukanlah sesuatu yang membuatnya ciut. 

Dan benar saja, di atas panggung, Glen Yasire Omar menjelma menjadi pribadi lain. 

Suaranya mantap, iramanya pas, setiap kata seolah menggenggam perhatian semua orang yang mendengarnya. Hari itu … ia bukan sekedar sosok pendiam di sudut kelas. Ia adalah pusat ruangan. Seorang motivator alami yang membuat pendengar larut dalam setiap ucapannya. 

Ketika ia turun dari panggung, tepuk tangan masih menggema. 

“Gimana pidatoku tadi?” tanya dengan senyum malu-malu, tapi matanya berkilat puas.

“Kerja bagus, Glen,” jawab Reiner dan Leo hampir bersamaan. 

“Kamu hebat, Glen. Pidatomu keren,” tambah Shin yang duduk di samping Leo. 

Hanya Mary yang belum bicara. Glen menoleh ke arahnya-Mary duduk di sebelahnya, di sisi lain Reiner. Formasi itu bukan kebetulan: Shin sengaja dijauhkan dari Reiner, karena keduanya seperti api dan bensin. Leo menjadi peredam di antara mereka, sementara Glen mendapat kursi di samping Mary. 

Mary tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, ia mengangkat kamera yang dibawanya, lalu memutar layar untuk menunjukkan foto Glen saat berpidato. “Ini kamu, Glen,” ujarnya dengan senyum kecil. 

Glen menatap layar itu lama. Potret dirinya–senyum lepas, tatapan yakin–terasa seperti orang lain. Bukan dirinya yang biasanya. 

Lihat selengkapnya