Masa SMA akhirnya berakhir.
Mary, bersama dengan Reiner, Shin, Glen, dan Leo resmi menjadi lulusan. Sesuai janjinya pada sang ayah, ia harus kembali ke kota Prema—kembali ke rumah lamanya, kepada keluarganya dan melanjutkan studi. Sejak jauh hari, ia sudah menetapkan tujuan: masuk jurusan seni.
Namun, hal yang sama tidak berlaku untuk keempat sahabatnya. Sekitar dua tahun mereka tinggal di bawah atap yang sama. Selama itu, terjalin ikatan yang lebih dari sekedar teman sekolah atau rekan serumah. Bagi Mary, mereka adalah keluarga yang ia pilih sendiri–tempat berbagi tawa, rahasia, dan luka.
Sementara Mary mantap ingin kuliah, Reiner, Shin, Glen, dan Leo masih menentukan arah. Mungkin mereka ingin melanjutkan studi, mungkin juga tidak– yang pasti, biaya kuliah bukan hal kecil. Maka, mereka memutuskan untuk mengambil jeda: bekerja sambil menabung, sembari mencari tahu langkah terbaik untuk masa depan.
“Kenapa kalian enggak ikut tinggal sama aku di Prema?” tawar Mary suatu sore. Ia tahu, mereka bukan menyerah pada kuliah. Mereka hanya butuh waktu untuk menemukan jalan yang tepat.
“Ka-kami bisa tinggal di sana?” tanya Shin, ragu-ragu.
Mary mengangguk mantap. “Bisa. Aku akan bicara sama Ayah. Di rumah ada garasi enggak terpakai. Kalau dibersihkan, itu bissa jadi kamar kalian. Aku bisa pastikan, tempatnya layak.”
Awalnya Reiner dan yang lain sempat merasa keberatan. Pikiran tentang tidak ingin membebani, muncul dalam benak mereka. Tapi setelah Mary berusaha untuk meyakinkan dan pertimbangan yang dalam, mereka setuju ikut. Ada tiga alasan utama: pertama, Prema adalah kota besar–peluang kerja sampingan lebih terbuka. Kedua, kampus terbaik terdekat ada di Prema, lengkap dengan program beasiswa untuk yang kurang mampu. Ketiga, hidup di kota yang lebih maju mungkin akan memberi mereka pandangan baru untuk masa depan.
Sebelum keberangkatan, Mary meminta satu hal: ia ingin menemui ibu kandungnya sekali lagi. Kebetulan, hanya Reiner yang bisa mengantar. Shin, Glen, dan Leo sedang sibuk membantu anak-anak panti asuhan sebelum mereka berpisah.
Reiner awalnya merasa enggan. Tapi karena tidak ada pilihan lain, ia akhirnya mau pergi menemani Mary.
Sejak insiden kelam itu, Reiner kerap menemani Mary ke rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat. Namun, setiap kali berada di sana, Mary selalu menangkap ketidaksukaan di wajah Reiner, meski ia berusaha menyembunyikannya.
Awalnya ia ingin bertanya pada Reiner. Tapi niat itu diurungkan dengan satu dugaan: masa lalu Reiner yang berhubungan dengan ibunya.
“Ibu … “ panggil Mary pelan.
“Sudah kubilang, jangan pernah datang ke sini lagi, Mary! Aku enggak pernah menganggapmu anakku!” Suara Nia terdengar dingin, matanya enggan menatap putrinya yang sudah susah payah datang berkunjung.
Mary sudah terbiasa. Selama kurang lebih dua tahun terakhir, ia menerima penolakan itu berulang kali, tapi entah kenapa hatinya tetap menolak untuk menyerah. Ia selalu berpikir, mungkin sikap dingin ibunya hanyalah cara untuk menutupi rasa malu yang tak sanggup diungkapkan.
“Aku cuma mau pamit, Bu. Mungkin ke depannya, aku enggak bisa sering-sering datang. Aku harus balik ke rumah lama di Prema. Tapi … kalau ada waktu, aku akan ke sini lagi.”
“Kamu akan balik ke kota itu? Kota tempat wanita itu tinggal?” tanya Nia dengan nada sinis.
Mary mengangguk pelan. “Ya, Bu.”
Tak ada yang bisa dibicarakan lagi, awalnya Mary ingin pergi setelah berpamitan. Namun sebelum berdiri, ia menatap ibunya lekat-lekat. Pertanyaan yang sama keluar lagi dari bibirnya–pertanyaan yang selalu ia ajukan setiap kali datang.
“Sekali saja … apa Ibu enggak bisa menyayangiku?”