IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #24

TRAGEDI PART 2

Mary dan empat sahabat laki-lakinya, akhirnya resmi pindah ke kota Prema. Reiner, bersama Shin, Glen, dan Leo, menempati garasi tak terpakai di rumah keluarga Mary. Garasi itu mereka sulap menjadi ruang tinggal sederhana–lantai yang dingin ditutup karpet bekas, ranjang-ranjang tipis berjajar di sudut, sebuah dapur mungil yang cukup untuk memasak makanan sederhana, dan satu kamar mandi walau sempit, tapi terasa seperti kemewahan bagi mereka. 

Yasmin, ibu tiri Mary, menyambut kedatangan empat anak itu dengan hati yang hangat. Baginya, mereka bukan sekedar tamu. Mereka adalah penyelamat hidup putrinya. Ia tahu itu dari cerita Harit, suaminya, dan foto-foto yang selama ini Mary kirimkan. Foto -foto yang selalu menunjukkan senyum tulus Mary di antara empat wajah lelaki muda yang memandangnya dengan penuh rasa percaya. 

Yasmin adalah wanita tidak tega melihat anak seusia mereka hidup di jalan atau menumpang dari satu tempat ke tempat lain. Mengetahui masa lalu yang sulit mereka lalui, ia langsung memutuskan: rumah ini adalah rumah mereka juga. Ia memasakkan makanan hangat setiap hari, memastikan pakaian mereka bersih, bahkan menyiapkan coklat panas saat mereka pulang larut dan lelah. Sama seperti Mary, Yasmin menganggap keempatnya sebagai keluarga, sebagai anaknya sendiri.

Namun, Reiner, Shin, Glen, dan Leo tidak serta merta menerima semua kebaikan itu saja. Mereka datang ke Prema bukan untuk bergantung pada belas kasihan orang lain, melainkan untuk mencari tujuan hidup mereka, untuk menemukan arah yang akan mengubah masa depan. Maka, mereka bekerja paruh waktu–apa saja yang bisa menghasilkan uang–dan bersikeras memberi Yasmin bayaran untuk makanan, listrik, dan air. Ibu tiri Mary menerimanya, tapi diam-diam menyimpan uang itu sebagai tabungan masa depan mereka, menunggu saat mereka siap mengambil langkah besar dalam hidup. 

Sementara itu, Mary fokus mempersiapkan ujian masuk universitas. Ia sudah mantap memilih jurusan seni lukis, ingin mengasah bakat yang ia miliki dan suatu hari menjadi pelukis handal. Harit dan Yasmin-sebagai orang tua, mendukung penuh keinginannya. 

Hari-hari berjalan tenang. Tawa mengisi rumah, keakraban terjalin antara empat pemuda itu dengan Ferno, adik Mary, bahkan Harit. Kadang, di waktu senggang, Harit mengajak lima anak laki-laki itu memancing di sungai dekat rumah–tempat yang penuh kenangan dengan Mary. 

Namun, kebahagiaan jarang bertahan selamanya. 

Hari itu, rumah terasa sepi. Harit sedang bekerja, Ferno di sekolah, dan empat sahabat Mary sedang bekerja paruh waktu. Hanya Mary dan Yasmin yang ada di rumah. Yasmin baru saja selesai memasak makan siang ketika ia memanggil, suaranya riang. 

“Mary …” teriaknya dari dapur. 

Mary yang sedang belajar di kamar, segera bangkit dan berjalan cepat. “Ya, Bu,” sahutnya sambil melangkah menuju makan. 

Namun, sebelum ia duduk, matanya menangkap sesuatu di luar jendela dapur–bayangan seorang wanita berjalan di halaman belakang, menuju pintu dapur. Mary membeku. 

Sekejap, rasa panas yang pernah membakar punggungnya dulu menyeruak kembali, seolah luka lamanya terbuka lagi. Ia mengenali bayangan itu. 

Ibu. 

Refleks, Mary melangkah cepat, menarik Yasmin berdiri di belakangnya, membuat tubuhnya sendiri sebagai pelindung untuk wanita itu. 

Klik. Gagang pintu berputar. 

Pintu terbuka, menampilkan wajah yang selama dua tahun terakhir hanya ia lihat di balik kaca pembatas ruang kunjungan. Kini, jarak itu menghilang. 

Lihat selengkapnya