Mata Mary selalu mengingatkan Reiner pada sosok ibu yang pernah membuangnya.
Awalnya, rasa tidak suka Reiner pada Mary bermula dari sorot matanya—sorot yang sama dengan perempuan yang dulu ia cintai, lalu ia benci. Setelah matanya, giliran sikap Mary yang mengganggu, lalu hatinya. Setiap gerak-gerik gadis itu, setiap ekspresi wajahnya, seakan memanggil kembali kenangan pahit yang selama ini ia kubur. Kemiripan itu begitu menyiksa, hingga membuat Reiner melampiaskan amarah masa lalunya pada Mary—amarah yang seharusnya tertuju pada sang ibu.
Namun kini, semua itu terasa tak berarti lagi. Reiner tahu, ia salah. Ia telah menumpahkan kebencian pada orang yang tak bersalah. Perlahan ia menyadari, Mary bukanlah cermin dari ibunya melainkan seseorang yang justru menanggung luka lebih dalam darinya.
Hidup Mary jauh lebih menyakitkan.
Reiner memang pernah dibuang ibunya, tapi setidaknya ia sempat merasakan kasih sayang sebelum itu. Hidupnya di panti asuhan pun tidaklah buruk; meski sering berulah, ada banyak orang yang menyayanginya. Tapi, Mary berbeda. Ia dibuang, tak pernah benar-benar dicintai oleh ibu kandungnya, dan sekarang harus menanggung kebencian yang teramat dalam dari perempuan yang mengandungnya.
Luka itu kian dalam ketika Nia, ibu kandungnya, merenggut nyawa Yasmin—ibu tiri yang dengan tulus membesarkannya. Mary terjebak di antara dua sosok yang sama-sama ia cintai: ibu yang melahirkannya dan ibu yang merawatnya. Namun takdir kejam memilih memisahkannya dari keduanya.
Tak peduli dari sudut mana pun dipandang, Mary hidup dalam penderitaan yang tak terbayangkan. Dan Reiner kini hanya ingin melakukan satu hal: menghibur gadis itu, meski sekadar menjadi tempatnya bersandar.
Tiga hari setelah sadar dari koma, Mary diizinkan pulang. Meski fisiknya dinyatakan stabil, dokter mewanti-wanti soal lukai kepalanya; ia harus rajin kontrol dan rutin minum obat untuk beberapa waktu ke depan. Namun, tiga di rumah sakit itu hanya diisi dengan kesunyian. Tak ada senyum yang terukir di wajah Mary, hanya bayangan rasa bersalah, penyesalan, dan kehilangan yang seolah menjeratnya.
Dan ketika tiba di rumah, gadis itu tidak langsung masuk. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, matanya kosong, seakan kenangan hari kematian Yasmin kembali menghantuinya. Alih-alih melangkah ke dalam, Mary justru berlari menjauh, menghilang tanpa arah.
“Biar dia pergi,” kata Harit, ayahnya, dengan suara berat. “Mary butuh waktu.”
Shin dan Reiner segera pergi mencarinya, sementara Leo dan Glen memilih tinggal untuk menyiapkan makan malam sederhana–sebuah kebiasaan baru mereka setelah kepergian Yasmin.
Dari keduanya, Reinerlah yang pertama menemukannya.
Mary duduk di tepi sungai, tatapannya kosong mengarah ke langit sore yang mulai berwarna oranye. Tempat itu bukan sembarang tempat; Harit pernah bercerita bahwa Mary kerap menghabiskan waktu di sana bersamanya, memancing sambil berbagi cerita. Kini, gadis itu hanya duduk diam, seakan dunia di sekitarnya tidak ada. Reiner mendekat tanpa berkata sepatah kata. Ia hanya duduk di sampingnya, menunggu.
“Ini salahku,” suara Mary akhirnya pecah setelah lebih dari setengah jam keheningan. “Ibu pergi, Ferno jadi anak piatu … semua ini salahku.”
“Bukan, Mary,” ucap Reiner pelan, lembut, hampir seperti bisikan.
Ia menoleh ke arah gadis itu. Mata Mary berkaca-kaca, tapi ia menahan air mata itu dengan keras kepala. Reiner kemudian memutar tubuhnya, membelakangi Mary, memberinya ruang untuk menangis tanpa merasa diawasi.
Dan benar saja, tangis itu pecah.