Begitu sampai di rumah, Reiner langsung mengantar Mary ke kamarnya. Ia bahkan tidak sempat meminta jaketnya kembali, seolah yang terpenting adalah memastikan gadis itu sampai di tempat yang aman. Dengan hati-hati ia menurunkan Mary ke atas ranjang, lalu menutup pintu kamar perlahan, seakan khawatir suara kecil sekalipun bisa mengganggu perasaan Mary yang rapuh.
Di depan pintu, Glen dan Leo sudah menunggu dengan wajah penuh tanda tanya. Namun, ketika mereka hendak bertanya, Reiner hanya mengangkat telunjuk ke bibirnya, memberi isyarat agar mereka diam. Keheningan pun kembali menyelimuti rumah itu.
Kamar Mary berada di lantai dua bersebelahan dengan kamar Ferno. Sementara kamar orang tua mereka ada di lantai bawah. Setelah memastikan Mary berada di tempat yang aman dan nyaman untuknya, Reiner turun ke lantai satu untuk menemui yang lain. Baru di sana ia memberi sedikit penjelasan.
“Mary mungkin trauma,” ucap Reiner, suaranya terdengar rendah. “Melihat rumah ini, membuatnya mengingat kejadian nahas itu.”
“Enggak heran,” timpal Glen, menghela napas. “Saat itu, di rumah cuma ada Mary dan Tante Yasmin. Dia pasti langsung mengingat kejadian itu begitu tiba di rumah.”
Leo mengangguk setuju. “Padahal rumah ini dulu punya banyak kenangan indah untuk Mary. Tapi gara-gara tragedi itu, rumah ini justru jadi pengingat luka untuk Mary.”
“Terus, gimana sama Mary? Dia enggak bisa dibiarin terus-terusan begini, kan?” tanya Shin yang sejak tadi memperhatikan. “Enggak mungkin dia terus ngurung di kamarnya.”
Harit, yang baru selesai menata meja makan setelah membantu Glen dan Leo masak, menghampiri mereka dengan senyum tipis. “Biarkan saja dulu Mary. Dia butuh waktu. Di saat seperti ini, biasanya selalu ibunya yang menenangkan dan menemaninya. Tapi sekarang keadaannya berbeda.” Suaranya sedikit bergetar, tapi ia berusaha tegar. “Mary harus belajar kalau ibunya sudah enggak ada. Om yakin dia akan kuat. Mary itu anak yang hebat.”
Sebagai seorang ayah, Harit tahu sifat Mary, putrinya. Putrinya adalah anak yang kuat. Meski hatinya lembut, tapi ketika menghadapi situasi yang berat, Mary selalu punya cara untuk bertahan. Sebelumnya selalu begitu dan selanjutnya juga akan seperti itu.
Malam itu, Reiner, Shin, Glen, dan Leo akhirnya makan malam bersama Harit dan Ferno. Mereka menyisakan makanan untuk Mary, berjaga-jaga kalau nanti ia lapar dan mau makan. Rumah itu terasa terlalu besar dan terlalu sunyi malam itu, meski ada enam orang di meja makan.
Ketika malam semakin larut, giliran Reiner dan Glen untuk menemani Ferno tidur. Adik laki-laki Mary itu punya traumanya sendiri, meski berusaha untuk terlihat kuat di depan sang kakak. Sejak tragedi yang merenggut Yasmin, Ferno tak lagi bisa tidur sendirian. Ketakutan menghantuinya begitu jam tidur tiba, dan beberapa kali Harit berusaha menemaninya. Namun karena semenjak kejadian itu Mary jatuh koma dan dirawat di rumah sakit untuk waktu yang tidak singkat, Reiner bersama dengan tiga temannya sepakat untuk membantu Harit dengan bergantian menemani Ferno tidur. Jadwal pun terbagi: Shin dan Leo satu kelompok, Reiner dan Glek kelompok yang lain. Tragedi itu mengajarkan mereka satu hal: jangan pernah bekerja di jam yang sama, agar selalu ada yang bisa menjaga keluarga ini.
Empat anak laki-laki itu merasa sangat berhutang pada keluarga Mary. Mereka sudah menerima begitu banyak kebaikan di rumah ini. Maka ketika tragedi itu datang, mereka pun merasa ini saatnya membalas, meski dengan cara sederhana: menjaga keluarga yang dulu melindungi mereka.
Namun malam itu terasa berbeda. Rumah begitu sunyi hingga detak jam dinding terdengar jelas. Glen dan Ferno sudah tertidur, tapi justru Reiner tidak bisa memejamkan mata. Ia berulang kali berguling di ranjang, berharap rasa kantuk datang, tapi yang ada hanya rasa gelisah yang mengganggu pikirannya.
Akhirnya ia bangkit, melangkah perlahan keluar kamar. Niatnya semua hanya untuk duduk di balkon lantai dua, merasakan dingin malam dan menatap langit berbintang. Namun sebelum tangannya sempat meraih gagang pintu balkon, ia mengubah arah. Langkahnya membawanya ke depan kamar Mary.
Ia mengetuk pintu pelan, menyebut nama gadis itu dengan suara setengah berbisik. “Mary … sudah tidur?” tanyanya, berharap tidak ada jawaban, yang berarti Mary sudah tertidur.
Namun suara lirih terdengar dari balik pintu. “Be-belum, Rei. Kamu kok belum tidur?”
Reiner duduk bersandar di depan pintu kamar itu, merasakan hawa dingin dari lantai menembus pakaiannya. “Aku enggak bisa tidur. Kamu juga belum tidur? Lapar? Kalau lapar, ada makanan di bawah. Mau aku ambilkan?”
“A-aku enggak lapar. Aku juga enggak bisa tidur, Rei.”