IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #29

KEHILANGAN LAGI PART 1

Kematian Yasmin menghantam mereka seperti gelombang badai yang tak terduga, meninggalkan kehampaan yang menyakitkan. Rasa sakit itu membungkus setiap sudut rumah, setiap langkah yang mereka ambil, dan setiap napas yang mereka hembuskan. Harit, Mary dan Ferno, masing-masing berjuang dengan caranya sendiri untuk bertahan. Pada awalnya, upaya mereka terasa berat, tapi seiring waktu ketiganya berpegangan pada keyakinan bahwa luka akan perlahan sembuh. Mary, terutama, menggantungkan harapannya pada waktu. 

Namun, mimpi buruk Mary yang sempat menghilang kini kembali—lebih gelap, lebih nyata. Kali ini adegannya tak lagi samar; ia menyaksikan ibu tirinya kehilangan nyawa di hadapannya. Setiap malam, Mary terjatuh dalam kegelapan itu, menjerit dan menangis, terjebak dalam kenangan kelam yang terus memutar seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. 

Belum juga Ferno. Meski tidak seburuk sang kakak, anak laki-laki tak bisa tidur sendirian di malam hari seolah melihat hal yang sama dalam mimpi buruk sang kakak. 

Harit, sang ayah, tak pernah bertanya. Ia cukup hadir. Saat Mary terbangun, terguncang oleh mimpi buruknya, ia datang, membangunkannyya dengan lembut dan menemaninya hingga tidur kembali menenangkan dirinya sendiri. 

Dua bulan berlalu dengan lambat. Perlahan, mimpi buruk itu tak lagi datang sesering dulu, dan Mary mulai bisa diajak bicara mengenai tragedi itu tanpa terjebak dalam kesedihan yang melumpuhkan. Saat itulah Harit, setelah  lama menahan diri, akhirnya memberanikan diri menanyakan sesuatu yang sudah lama mengganjal hatinya. 

“Bisa Ayah tanya, Mary?” suaranya bergetar tipis. 

“Ya, Ayah,” jawab Mary, menatap lembut. 

“Sebenarnya sudah lama Ayah ingin bertanya … kenapa … “ Bibir Harit tersentak, menahan rasa takut akan membuka luka lama putrinya. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang berkata, ia harus tahu. “Kenapa kamu tidak pernah sekalipun saat Ibumu-Nia memukulimu?” 

Mary terdiam. Ia telah lama menduga ayahnya menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya. Dua tahun lalu, setelah tragedi itu, Mary tahu ayahnya ingin bertanya—tetapi pertanyaan itu tak pernah terucap, terkubur oleh waktu. Dan sekarang, pertanyaan itu kembali muncul, tak terduga, tapi terasa sangat tepat waktunya. 

“Maaf, Ayah … karena kebodohanku, Ferno harus menjadi anak piatu. Karena kebodohanku juga, Ayah kehilangan istri tercinta. Tapi saat itu … a-aku sudah meminta Ibu untuk lari menyelamatkan dirinya,” Mary menjawab pelan, suaranya bergetar menahan kesedihan. 

Harit menggeleng. Jawaban itu bukanlah yang ia harapkan. 

“Ayah tidak mempermasalahkan kejadian itu, Mary. Apa yang menimpa Ibumu, bukan salahmu. Yang ingin Ayah dengar adalah … kenapa kamu tidak pernah melawan Nia. Dua tahun yang lalu, Ayah tak percaya mendengar Pandu menceritakan bahwa kamu dengan sukarela dipukuli oleh Nia. Tapi setelah kejadian kemarin, Ayah akhirnya yakin—kamu pasrah menerima semua itu, Mary. Kenapa? Itu yang ingin Ayah tahu.” 

Mary menundukkan kepala, benaknya kembali ke salah satu ajaran Yasmin: kebencian tidak bisa dilawan dengan kebencian, melainkan dengan kasih sayang. 

“A-aku yakin Ibu akan berubah, Ayah?” jawabnya pelan, hampir berbisik. 

“Dari mana datangnya keyakinan itu, Mary?” tanya Harit, alisnya  sedikit terangkat. 

“Ibu … Ibu Yasmin, Yah. Ibu bilang kebencian tak bisa dikalahkan dengan kebencian, tapi dengan kasih sayang,” jawab Mary. 

Harit membeku. Jawaban itu menghantamnya seperti gelombang yang tidak ia duga. Yasmin … istri tercintanya itu ternyata hatinya benar-benar baik, bahkan setelah semua yang Nia lakukan padanya. 

Lihat selengkapnya