Tiga bulan tersisa sebelum ujian masuk universitas, dan hari-hari tenang Mary tidak bertahan lama. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh kini kembali terbuka. Sejak kematian Yasmin, semua orang di rumah berusaha menenangkan diri, menerima kenyataan pahit, mengubah kebiasaan dan bertahan menghadapi kesedihan yang terus membayangi. Semua terluka, semua bersedih. Itulah kenyataan yang harus mereka hadapi.
Namun, tak ada yang menyangka bahwa di antara semua orang yang merasa terluka, paling terpukul, paling penuh rasa bersalah dan penyesalan, bukanlah Mary–meski ia berada di sisi Yasmin saat detik-detik terakhir. Bukan pula Ferno, yang masih terlalu muda untuk memahami sepenuhnya. Yang paling hancur adalah Harit.
Ia menyalahkan dirinya sendiri. Bukan hanya atas kematian Yasmin, tapi juga atas penderitaan Mary. Setiap keputusan yang pernah ia buat di masa lalu kini terasa seperti benang kusut yang menjeratnya, menuntun setiap langkahnya menuju tragedi yang tak terelakkan. Ia sadar, sejujurnya, bahwa tak ada satupun keputusan yang bisa diubah–setiap pilihan membawa konsekuensinya sendiri, baik dan buruk, yang kini menumpuk menjadi beban yang tak tertahankan. Ia tak bisa menuding siapa pun atas nasib yang menimpa keluarganya; satu-satunya orang yang bisa ia pertanggungjawabkan hanyalah dirinya sendiri.
Waktu terus berjalan. Semua orang berusaha menambal luka, menerima kenyataan. Tapi tidak dengan Harit. Rasa bersalah terus menumpuk, menekan hatinya seperti batu berat yang tak mungkin diangkat. Satu-satunya alasan yang membuatnya hanyalah anak-anaknya, Mary dan Ferno. Tapi alasan itu tidak cukup. Untuk mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah dan penyesalan yang mendera, ia bekerja keras hingga tubuhnya lelah, hingga ia bisatertidur tanpa merasakan sejenak kesakitan itu.
Ia memaksa tubuhnya terus bertahan, menuntut lebih dari yang seharusnya. Tapi semua tak pernah pernah cukup. Rasa bersalah itu menghantuinya bahkan dalam tidur. Hingga akhirnya tubuhnya menyerah.
Serangan jantung.
Harit terkena serangan jantung saat bekerja dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Mary, sebagai anak tertua, langsung menuju ke rumah sakit setelah menerima kabar dari pihak perusahaan di mana sang ayah bekerja. Hari itu, yang menemaninya di rumah hanyalah Reiner dan Leo, yang kebetulan bekerja malam.
Namun, saat tiba di rumah sakit, Harit sudah dalam kondisi kritis. Jantungnya melemah, hipertensi yang tak ia sadari, kelelahan akibat kerja keras, dan stres berkepanjangan memperburuk kondisinya dengan cepat.
“Mary …” suara Harit lemah, hampir seperti bisikan.
Pria itu terbaring lemah di ranjang IGD, dikelilingi alat-alat medis–infus, alat bantu pernapasan, monitor denyut jantung–seakan setiap mesin mengingatkan akan kerapuhan tubuhnya.
“Ya, Ayah … “ jawab Mary, menggenggam tangan ayahnya erat, berharap bisa menahan kehilangan untuk kedua kalinya. Namun, tatapannya tak bisa menutupi kenyataan pahit: ayahnya terlalu lelah untuk bertahan lebih lama.
Air matanya menitik, tapi Mary menahannya sebisa mungkin. Ia tidak ingin ayahnya melihat kesedihannya.