Sebulan kemudian.
Setelah berjuang melewati kehilangan kedua orang tuanya, Mary kini menempuh perjalanan ke kota Smara bersama Reiner dan Glen. Ada satu tujuan yang harus ia lakukan di kota itu: menemui ibu kandungnya, Nia.
Dalam perjalanan kurang dari dua jam, pikiran Mary tenggelam dalam ingatan sebulan terakhir yang begitu berat. Kematian ayahnya, Harit, masih terasa menusuk dada. Ia teringat prosesi pemakaman yang menyedihkan, di mana Harit dimakamkan tepat di samping Yasmin—sebuah simbol cinta abadi yang tetap menyatukan mereka, meski kematian telah memisahkan.
Tiga hari setelah pemakaman, Mary menghubungi Pandu, sahabat ayahnya yang tinggal di Smara, seperti wasiat terakhir Harit. Pandu ternyata telah menerima beberapa wasiat dari sahabatnya.
“Paman kira Ayahmu bercanda … tapi ternyata … dia benar-benar pergi, seperti yang dia katakan,” ucap Pandu, wajahnya suram, jelas menandakan kesedihan yang mendalam.
“Apa yang Ayah pesan pada Paman? Kenapa Ayah ingin aku menghubungi Paman?” tanya Mary, rasa penasaran bercampur sedih.
Tanpa menunggu lama, Pandu menjelaskan semua wasiat itu. Pertama, beberapa surat penting dan tabungan, semuanya atas nama Mary sebagai wali dan anak ttertu. Jika Mary kesulitan mengurusnya, Pandu siap membantu. Tabungan itu mencakup biaya kuliah Mary dan kebutuhan Ferno. Kedua, jika Mary kesulitan mengasuh Ferno saat kuliah, Pandu diminta untuk turun tangan. Dan yang paling penting, rumah mereka boleh dijual. Harit mewasiatkan hal itu karena ia tahu Mary masih terbayang-bayang kematian Yasmin, ibu tirinya.
“Semua keputusan ada di tanganmu, Mary. Paman hanya akan membantu saja,” kata Pandu menutup penjelasan.
Mary menatap rumahnya sejenak. Rumah itu punya banyak kenangan tentang ayah dan ibu tirinya, tapi setelah tragedi, tempat itu kini hanya meninggalkan kenangan pahit. Mary bisa saja menjualnya. Namun, menjualnya bukanlah keputusan yang bisa ia ambil sendiri. Ferno, adiknya, juga tinggal di sana, juga punya kenangan di sana.
“Kalau mau Kakak jual, jual saja. Aku ikut saja,” jawab Ferno dengan suara tenang.
“Kamu yakin, Ferno?” Mary menatapnya, hatinya bercampur aduk. Ia tahu adiknya bersikap lebih dewasa dibandingkan anak seusianya, tapi sikap dewasa itu kadang membuatnya takut. Ia takut Ferno kehilangan masa kecilnya terlalu cepat.
Ferno mengangguk yakin. “Aku sudah cukup kehilangan Ayah dan Ibu. Aku enggak bisa kehilangan Kakak juga. Kalau tinggal di rumah ini terlalu menyakitkan, kita pindah saja, Kak.”
Akhirnya, Mary dan Ferno sepakat. Mereka meminta Pandu menjual rumah itu dan membeli rumah baru di pinggiran kota yang lebih murah, tapi lebih luas. Meski menjual rumah lamanya, Mary tetap memikirkan empat sahabat yang selalu menemaninya melewati duka yang bertubi-tubi. Ia tidak ingin berpisah dari mereka setelah dua kehilangan yang begitu berat.
“Paman akan carikan, Mary,” kata Pandu, menenangkan hati Mary.
Tepat sebulan setelah kematian Harit, semua urusan selesai. Rumah keluarga Mary dijual, dan Mary bersama Ferno, empat sahabatnya, dan Pandu pindah ke rumah baru di pinggiran kota Prema, berbatasan dengan Smara. Berkat itu itu, perjalanan ke kota Smara yang biasanya memakan waktu sekitar dua jam, kini bisa dipersingkat sekitar 15 menit.
“Kenapa kamu masih datang ke sini, Mary?” tanya Glen heran.
Mary, bersama Reiner dan Glen, akhirnya tiba di rumah sakit jiwa tempat Nia dirawat. Setelah kejadian kurang dari setahun lalu—di mana Nia melarikan diri dan menyebabkan kematian Yasmin—pengamanan di rumah sakit kini jauh lebih ketat. Untuk mengunjungi Nia, Mary bahkan harus membuat janji terlebih dahulu.