IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #32

KEHILANGAN LAGI PART 4

Mary menggeleng perlahan. Dalam lubuk hatinya, ia ingin sekali menyalahkan Nia. Itu adalah jalan pintas untuk melegakan hatinya, cara termudah untuk membenarkan kemarahan dan rasa sakit yang menumpuk di dadanya. Namun kenyataan pahitnya, kematian Yasmin dan Harit tidak bisa hanya ditumpahkan pada satu orang. Tragedi itu adalah hasil dari rangkaian pilihan banyak orang—pilihan yang saling terkait, dijalin oleh benang takdir yang kejam—dan Mary pun turut terikat di dalamnya. 

Ia tidak menjawab pertanyaan ibunya secara langsung. Sebaliknya, Mary memilih kata-kata yang tajam namun tenang, kata-kata yang ia harap bisa menembus dinding amarah dan obsesi yang telah lama menguasai Nia. 

“Seperti yang Ibu bilang … aku tidak berhak menyalahkan Ibu. Aku hanya ingin Ibu tahu,” ucap Mary dengan suara berat, “bahwa apa yang Ibu lakukan pada Ibu Yasmin … justru membuat Ayah merasa bersalah sampai ke titik di mana hidupnya hancur. Rasa bersalah itu menggerogoti Ayah perlahan, mengikisnya sedikit demi sedikit … sampai akhirnya ia jatuh sakit dan menyerah pada napas terakhirnya.” 

Tatapan Nia menjadi tajam, lebih tajam dari sebelumnya—seolah matanya berubah menjadi bilah pisau yang siap menyerang kapan saja. “Kamu tahu apa, Mary? Kamu enggak tahu apa-apa! Kamu enggak tahu betapa besar cintaku pada Ayahmu. Kamu enggak tahu betapa aku berjuang mati-matian agar dia bersamaku. Kamu ada di dunia ini karena cintaku pada pria itu. Kamu ada di sini … karena usahaku!” suaranya bergetar, namun penuh dendam. “Kalau semua orang di dunia ini menyalahkanku, aku enggak peduli! Tapi kamu, Mary …. hanya kamu seorang yang tidak bisa melakukannya!” 

Mary terdiam. Kata-kata itu tak asing. Ia pernah memikirkannya berkali-kali—tentang keberadaannya, tentang dosa dan pengorbanan yang melahirkan dirinya. Namun setiap kali ia tenggelam dalam rasa bersalah itu, ada satu sosok yang mengangkatnya kembali: Yasmin. 

Mary mengingat hari ketika ia, dengan suara penuh keraguan, bertanya kepada Yasmin, “Apa Ibu membenciku?” 

Yasmin, seperti biasa, tersenyum lembut. “Kenapa kamu tanya begitu, Mary?” 

“Karena aku anak dari perempuan yang pernah merebut Ayah dari Ibu …. Anak dari perempuan yang pernah berbuat jahat pada Ibu.” 

Yasmin hanya tertawa kecil, lalu merengkuhnya dalam pelukan hangat. “Mary … kamu anak Ibu. Kamu tidak lahir dari rahimku. Kita tidak punya hubungan darah. Tapi aku yang membesarkanmu. Dan bagiku, itu lebih dari cukup.” 

Kenangan itu menghantam Mary dengan getir. Dari Yasmin, ia belajar arti cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tulus, yang memberi tanpa pamrih. Cinta yang berbeda yang jauh dari cinta yang selalu Nia ucapkan—cinta yang terasa lebih mirip obsesi. 

Mary menghela napas panjang, menatap ibunya dengan mata yang kini penuh ketegasan. “Seperti kata Ibu, aku enggak berhak menyalahkan Ibu. Aku adalah anak Ibu. Fakta itu enggak akan pernah berubah. Tapi, Ibu … yang ingin aku katakan adalah, cinta yang Ibu banggakan itu … justru melukai banyak orang.” Suaranya bergetar, namun tajam. “Ibu bilang, Ibu mencintai Ayah. Tapi apa yang Ibu lakukan? Ibu justru membuatnya menderita karena cinta Ibu. Itu bukan cinta, Bu. Itu … bukan cinta.” 

Nia terdiam, napasnya memburu. Matanya berkilat tajam, namun di baliknya ada getaran yang tak bisa ia sembunyikan. “Pada akhirnya … kamu tetap menyalahkanku, Mary,” ucapnya lirih, penuh tuduhan. 

Mary menggeleng perlahan, kali ini dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku enggak menyalahkan Ibu. Enggak ada gunanya menyalahkan siapa pun, karena semua sudah terjadi. Tapi, Bu … setelah kematian Ayah, apakah Ibu benar-benar percaya bahwa cinta yang Ibu miliki untuknya adalah cinta yang tulus? Apakah ada ketulusan dalam semua yang ibu lakukan untuk Ayah?” 

Kata-kata Mary itu seperti hantaman besar yang membuat Nia tercekat. Tiba-tiba pikirannya melayang pada hari kelam di mana Harit pergi, membawa Mary kecil bersamanya. Hari di mana ia berdiri memohon di halaman rumah, menangis, memohon pada ayahnya agar menahan pria itu. 

“Ayah … kenapa diam saja? Kenapa biarkan Harit pergi?! Apa Ayah ingin perkebunan ini hancur?!” Nia terisak, wajahnya basah oleh air mata, suaranya pecah penuh amarah dan rasa takut. Namun ayahnya hanya berdiri kaku, tanpa kata, sementara para pekerja kebun menahan tubuh Nia agar tidak mengejar Harit. 

Lihat selengkapnya