Pemakaman Nia berlangsung sederhana, dihadiri hanya oleh segelintir orang—beberapa kerabat jauh, beberapa pekerja lama keluarga mereka, dan Mary yang berdiri dengan wajah tenang namun matanya sembab. Hari itu langit mendung, seolah ikut merunduk bersama duka yang menyelimuti. Mary datang ditemani Pandu, sosok yang sejak kematian Harit menjadi tempatnya bersandar.
Sebelumnya Mary tak pernah tahu tentang keluarga ibunya, tak pernah berkenalan dengan para kerabat jauh Nia. Bahkan rumah masa kecilnya, kisah tentang keluarga besar itu hanya sekadar bayangan. Satu-satunya orang yang mengenal mereka hanyalah ayahnya … dan Pandu.
“Jadi kamu Mary, ya, Nak?” suara seorang pria yang mengenalkan dirinya sebagai Anggara memecah kesunyian. Usianya sekitar lima puluh tahun, dengan wajah keras namun sorot mata teduh yang menunjukkan pengalaman panjang.
“Ya, saya Mary, Paman,” jawab Mary sopan.
Pria itu tersenyum samar. “Kamu benar-benar cantik. Perpaduan sempurna antara Nia dan Harit. Tidak heran sejak kecil kamu disayangi banyak orang. Kamu … versi terbaik dari Nia.”
Mary tertegun. Ia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari sepupu ibunya sendiri. Kata ‘iri’ yang selama ini hanya ia rasakan samar-samar, kini diucapkan dengan begitu tenang seakan sudah menjadi rahasia yang lama diketahui keluarga.
Setelah prosesi pemakaman selesai, Mary berbincang dengan Anggar di dekat makam Nia. Lelaki itu tampak memikul beban cerita yang sudah lama tersimpan. Ia mengaku pernah dipercaya oleh Kakek Mary untuk menjaga Nia, bahkan mengurus semua aset keluarga setelah tragedi yang menimpa Mary.
“Waktu itu … aku datang untuk melihatmu, Mary,” ucap Anggara lirih. “Aku datang ke rumah sakit setelah kamu diselamatkan, tapi kita tidak sempat ketemu. Aku hanya bisa lihat kamu dari balik pintu kamar rawat.”
Mary terdiam. Kata-kata itu terasa seperti potongan puzzle dari masa lalunya yang suram.
Makam Nia berada di samping makam orang tuanya, dan tak jauh dari sana terbaring pula kakek-nenek Mary dari pihak Harit. Semuanya terhubung dalam tanah yang sama, dalam sunyi yang sama.
“Setelah Nia pergi, tugasku sudah selesai, Nak,” ujar Anggara tiba-tiba.
Mary mengernyitkan dahi. “Tugas?”
Alih-alih menjawab langsung, Anggara meminta pada pria di sampingnya yang terlihat seperti sekretarisnya. Pria muda itu mengeluarkan amplop coklat tebal dari balik tasnya, memberikannya pada Anggara, sebelum menyerahkannya kepada Mary.
“Ini untukmu, Mary.”
Mary menerimanya dengan hati-hati. “Ini apa, Paman?”
“Ini adalah wasiat kakekmu. Kamu tahu dengan baik bagaimana kondisi ibumu, kan, Mary?” ucapnya.
Mary mengangguk pelan. “Saya tahu.”
“Sejak awal semua milik Nia, sudah dialihkan nama menjadi milikmu, Nak. Kakekmu tahu ibumu tak akan bisa mengurusnya. Jadi sampai kamu dewasa, Paman sebagai wali yang mengurusnya. Bersama dengan penerimaan warisan ini, harusnya kamu juga jadi wali Nia yang akan merawatnya. Sayangnya Nia pergi lebih cepat. Kamu harusnya menerima warisan ini saat kamu berumur dua puluh tahun, tapi menurut Paman, kamu sudah cukup umur untuk menerimanya. Rumah, tanah perkebunan—semuanya sekarang milikmu, Nak. Pandu-teman baik ayahmu, bisa kamu percayai untuk mengurusnya jika kamu kewalahan.”
Mary terdiam, menatap amplop-amplop itu. Ada beban yang terasa berat di tangannya, bukan hanya karena harta yang kini diwariskan, tapi karena kisah yang membungkusnya.
“Satu lagi,” lanjut Anggara sambil menunjuk amplop paling tipis. “Ini surat dari Nia. Staf rumah sakit menemukannya saat mereka … menemukan jasadnya. Di bagian luarnya tertulis untukmu, Nak.”
Mary menatap amplop itu lama, jemarinya merasakan tekstur kertas coklat yang tipis namun seolah menyimpan sesuatu yang lebih berat dari apapun.
“Akan saya baca, Paman,” jawabnya pelan.
“Baguslah.” Ada sedikit rasa lega dalam nada bicara Anggara. Ia lalu menatap makam Nia, sorot matanya berubah sendu. “Kakekmu, Ayahnya Nia, dulu begitu mendambakan seorang anak. Istrinya, sudah lemah sejak muda, jadi ketika Nia lahir, itu adalah keajaiban bagi mereka. Keajaiban yang mereka syukuri … tapi ternyata juga menjadi awal dari banyak luka. Nia tumbuh cantik, tapi temperamennya … benar-benar bermasalah.”
Mary mendengar dengan tenang. Ayahnya pernah menceritakan kisah ini, tapi mendengarnya dari Anggara memberikan warna yang berbeda.
“Karena temperamennya itu, Nia kesulitan berteman. Banyak orang yang mendekatinya hanya karena harta, bukan karena ketulusan. Itu membuatnya lelah. Sampai akhirnya dia bertemu dengan ayahmu,” lanjut Anggara. “Harit berbeda. Dia tulus. Dan Nia jatuh cinta padanya. Dia hanya ingin cintanya dibalas … tapi takdir tak berpihak. Harit jatuh cinta pada wanita lain.”
Mary menarik napas pelan, bayangan wajah Yasmin muncul di benaknya.