IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #34

CINTA PERTAMA: LEO PART 1

Ketika Mary kembali dari Smara dan langsung masuk ke kamarnya, Leo kebetulan baru saja pulang dari kerja paruh waktunya. Wajah Mary yang pucat dan muram menyambutnya sekilas–raut wajah yang tak asing lagi, wajah yang pernah ia lihat ketika gadis itu kehilangan Yasmin, lalu ayahnya. Ada kesedihan yang sama, luka yang dalam, dan rasa hampa yang tak bisa disembunyikan.

“Ada apa, Paman?” tanya Leo pelan pada Pandu yang ikut mengantar Mary dari perjalanan jauh. 

Dengan nada hati-hati, Pandu menceritakan segalanya: prosesi pemakaman Nia, pertemuan Mary dengan Anggar—sepupu ibunya— serta warisan yang ditinggalkan Nia untuk putrinya. Ia bahkan menyebutkan rencana Mary untuk menjual sebagian tanah dan mengatur masa depannya. Namun meski penjelasan Pandu lengkap, itu tak menjawab pertanyaan terbesar Leo: mengapa wajah Mary tampak begitu rapuh? Luka apa yang ia sembunyikan di balik matanya yang sembab?  

Leo memutuskan untuk menemuinya. Jika Mary mengizinkan, ia akan duduk di sampingnya, sekadar menemaninya agar gadis itu tak larut dalam kesedihannya seorang diri. 

Rumah baru Mary di pinggiran kota Prema tampak lebih luas daripada rumah lama mereka. Bangunannya masih bertingkat dua, dengan dua kamar di lantai atas untuk Mary dan Ferno, seperti sebelumnya. Di lantai bawah ada tiga kamar yang ditempati Leo, Shin, Glen, Reiner, dan Pandu. Meski rumah itu lebih besar, suasananya terasa sunyi dan dingin sore itu, seakan kesedihan Mary meresap ke setiap dindingnya. 

Leo menaiki tangga perlahan, berhenti di depan pintu kamar Mary. Ia hendak mengetuk, tetapi langkahnya terhenti ketika samar-samar terdengar suara isakan dari balik pintu. Tangis itu lirih, namun cukup untuk membuat dadanya sesak. Alih-alih mengetuk seperti niatnya semula, Leo memilih duduk bersandar di depan pintu kamar Mary, membiarkan dirinya menjadi penjaga diam di balik pintu itu.

Ia terdiam lama di sana, pikirannya dipenuhi akan semua duka Mary yang pernah ia saksikan. Bayangan pertama yang muncul adalah hari Mary terbangung koma, hanya untuk mendengar kabar bahwa Yasmin telah tiada. Saat itu Leo berdiri bersama Reiner, Shin, dan Glen  di depan pintu kamar rawatnya, mendengar tangis pilu Mary yang tak bisa mereka hentikan. Mereka hanya berdiri di sana, mendengarkan kepedihan yang merobek hati, hingga tanpa sadar air mata mereka ikut jatuh.

Bayangan kedua menelusup: hari Mary pulang dari rumah sakit. Semua orang berharap keadaannya membaik. Namun begitu sampai di rumah, kenangan buruk menamparnya—kejadian tragis yang merenggut nyawa Yasmin kembali menghantuinya. Gadis itu menolak masuk ke rumah dan berlari entah ke mana. Leo ingin sekali mengejarnya, tetapi Reiner dan Shin sudah lebih dulu berlari mengikuti Mary, sementara ia memilih tinggal bersama Glen, menyiapkan makan malam, berharap Mary akan pulang dengan tenang. 

Namun malam itu, Mary kembali tanpa nafsu maka. Leo tak bisa tidur, resah membayangkan kondisi Mary. Keesokan paginya, ia mendapati Mary tertidur di sofa, menggenggam erat tangan Reiner yang tertidur di lantai di sampingnya. Saat itulah Leo tahu ada sesuatu yang berat, yang Mary tanggung, meski ia tak berani bertanya. Dari cerita Reiner, ia akhirnya tahu: Mary menangis semalaman di dapur, menyesali kepergian Yasmin. 

Leo paham betul mengapa luka Mary begitu dalam. Yasmin bukan sekadar ibu tiri bagi gadis itu; ia adalah sosok penuh kasih, hangat, dan sabar—seseorang yang mencintai Mary dan Ferno tanpa syarat, bahkan memperlakukan Leo dan ketiga temannya seperti anak-anaknya sendiri. Sejak tinggal bersama Mary, ia merasakan sesuatu yang dulu hanya bisa ia bayangkan: keluarga. 

Inikah rasanya punya keluarga? 

Lihat selengkapnya