Hari ujian masuk universitas akhirnya tiba. Di bawah langit pagi yang cerah namun terasa menegangkan, Leo berdiri bersama Mary, Reiner, Shin, dan Glen di depan gerbang megah bertuliskan Universitas Negeri Prema. Nama universitas itu terpampang jelas di atas gerbang, seakan menjadi pengingat bagi mereka bahwa hari ini adalah langkah pertama menuju masa depan.
“Oke, kita nanti ketemu lagi di sini, gimana?” kata Mary dengan senyum tipis. Meski senyumnya tampak ceria, ada ketegangan yang samar di matanya—campuran antara gugup dan tekad.
Karena lokasi ujian berbeda, kelimanya harus berpisah menuju gedung masing-masing.
“Yeah,” jawab Shin santai. “Nanti kita kumpul di sini lagi. Tapi ruang ujianku kan deket sama ruanganmu, Mary.”
Mary hanya mengangguk singkat. “Ya.”
Dua bulan lalu, Mary masih terhanyut dalam duka. Tapi kini, di pagi yang penting ini, ia bisa tersenyum lagi. Luka hatinya belum sepenuhnya sembuh, tapi ada semangat baru di balik matanya. Ia ingin kuliah bersama empat sahabatnya, apapun caranya.
“Jangan pamer, Shin,” sindir Reiner sambil merangkul leher Shin dengan gaya bercanda namun nyaris mencekik. “Mentang-mentang ruang ujianmu dekat sama Mary.”
“Ke-kenapa?!” protes Shin, berusaha melepaskan diri. “Bilang saja kalau iri, Rei!”
Glen menghela napas panjang, menatap keduanya tajam.”Kalian ini … enggak bisa serius sedikit?!”
Leo menepuk bahu Glen, mencoba meredakan ketegangan yang tak hanya ada di antara mereka, tapi juga di hati masing-masing. Ia tahu Glen gugup, dan sejujurnya, ia sendiri merasakan hal yang sama. Jurusan yang ia incar bukanlah jurusan yang mudah untuk dimasuki. Standar nilai yang tinggi membuat tekanan terasa semakin nyata.
Mary berdiri di tengah-tengah mereka, melangkah ke belakang Glen dan Leo. Ia menepuk punggung keduanya dengan lembut, seolah mengalirkan kekuatan. “Tenang saja, Glen, Leo. Kalian pasti bisa. Ingat, kalian termasuk punya nilai yang baik pas lulus SMA kemarin” ucapnya ringan.
Tepukan itu, sederhana tapi hangat. Leo sempat melirik ke belakang, nyaris bersamaan dengan Glen.
“Ma-makasih, Mary,” ucap Leo, senyum tipis menghiasi wajahnya, meski bibirnya bergetar menahan gugup.
“Makasih,” tambah Glen singkat, tangannya yang mengepal mengungkapkan ketegangannya.
Shin dan Reiner langsung melotot, saling pandang, lalu menatap Leo dan Glen dengan ekspresi mengejek.
“Aku juga mau,” ujar Shin pura-pura manja.
“Apa cuma mereka saja yang kamu beri, Mary?” sambung Reiner, nyaris berbisik.
Mary terkekeh kecil melihat tingkah keduanya. Ia pun bergeser ke belakang mereka, menepuk punggung Shin dan Reiner dengan cara yang sama. “Sudah, puas?”