Seminggu kemudian.
Hari pengumuman hasil ujian masuk universitas akhirnya tiba. Di depan papan pengumuman yang dipenuhi nama-nama mahasiswa baru, Mary berdiri bersama empat sahabatnya. Mata mereka sibuk mencari satu demi satu nama yang begitu berarti hari ini. Begitu semua nama itu ditemukan, perasaan lega menyelimuti mereka.
Mary diterima di jurusan seni–bersama Shin, yang tampak paling berseri di antara mereka. Leo berhasil masuk jurusan kedokteran, Glen di manajemen bisnis, dan Reiner, yang selalu tampak tenang, di arsitektur. Empat bidang berbeda, tapi satu impian yang sama: mereka akan melangkah ke masa depan bersama.
Marry mengambil foto setiap nama mereka dengan kameranya, lalu meminta empat sahabatnya berpose di depan papan pengumuman. Senyum dan tawa mereka terekam abadi dalam foto itu–sebuah momen kecil yang terasa besar. Setelah itu, mereka berbelanja bahan makanan untuk pesta kecil nanti malam.
Di rumah, aroma daging segar dan bumbu mulai memenuhi udara. Menu malam itu sederhana: barbeque. Glen mencuci sayuran, Reiner memotong daging dengan pisau besar yang berkilat di bawah cahaya lampu, Leo meracik saus dan bumbu, sementara Shin–yang tidak bisa memasak–sibuk menyiapkan peralatan dan panggangan. Mary sendiri membantu Reiner memotong daging, tangannya cekatan membagi potongan besar menjadi ukuran pas.
Sembari mereka sibuk dengan persiapan, Mary mengangkat wajahnya dan melempar pertanyaan yang sejak tadi menggelitik rasa penasarannya.
“Kenapa kalian memilih jurusan itu?” tanyanya, matanya berkilat ingin tahu.
Shin, yang tengah mengatur arang di panggangan, menjadi yang pertama menjawab. Wajahnya dipenuhi semangat. “Aku mau jadi aktor terkenal,” ujarnya mantap.
Glen menoleh, alisnya terangkat heran. “Serius?? Bukannya kamu dulu kamu enggak suka seni peran gara-gara Mary bikin kamu pakai gaun cewek?”
Tawa pun pecah di dapur itu. Ingatan mereka melayang pada pertunjukan sekolah ketika Mary membuat Shin harus memerankan Juliet. Gaun putih panjang yang dikenakannya membuat seluruh penonton tertawa melihatnya. Tapi meski awalnya terkesan menerima tawa ejekan, Shin tahu bahwa penonton hari itu benar-benar menyukai pertunjukannya. Sejak hari itu … ada sesuatu yang tersimpan di hatinya.
“Siapa bilang aku enggak suka?” Shin mendongak dengan tatapan penuh tekad. “Justru karena Mary. Hari itu aku merasa seperti … bintang utama. Senyuman penonton, tepuk tangan mereka … rasanya luar biasa. Aku mau jadi aktor terkenal, Mary.”
Mary tersenyum lebar. “Kalau kamu jadi aktor terkenal nanti, jangan lupakan kami ya?” godanya.
“Lupakan kalian? Mana bisa!” Shin tertawa, lalu mendekat dan merangkul Mary. “Kalau aku terkenal nanti, orang pertama yang dapat tanda tanganku ya kamu, Mary.”
Mary tertawa kecil. “Oke, aku tunggu, Shin.”
Setelah Shin, Mary menoleh ke arah Glen. “Kalau kamu, Glen? Kenapa milih manajemen bisnis?”
Glen yang sedang mencuci sayuran sempat terdiam. Pertanyaan Mary membuatnya menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Karena kamu, Mary.”
“Aku?” Mary menunjuk dirinya sendiri, terkejut. “Kenapa aku?”
Glen tersenyum samar, mengingat hari ia berpidato menggantikan Reiner dan leo, hari ia merasa berperan penting untuk orang lain. Momen itu adalah salah satu alasannya. Tapi alasannya yang lain adalah karena keinginan Mary. “Kamu kan pernah bilang mau buka penginapan. Aku mau bantu kamu. Jadi aku belajar manajemen bisnis supaya bisa bantu kamu, bantu kita semua, kalau mau bikin usaha nantinya.” Suaranya penuh keyakinan. “Aku bahkan bisa jadi motivator kalian.”
Mary terpaku sejenak, lalu tersenyum lebar. “Glen … makasih banyak.”
“Pasti aku bakal bantu kamu, Mary,” balas Glen mantap.
Mary merasa hatinya hangat mendengar tekad sahabatnya itu. Ia lalu menoleh pada dua sahabatnya yang lain.
“Kalau kalian? Leo? Rei? Kenapa kedokteran sama arsitektur?” tanyanya penasaran.
Leo, yang tengah menuangkan saus ke dalam mangkuk, nyaris menumpahkannya. Ia mendorong kacamatanya ke atas hidung, mencoba menyembunyikan wajah gugupnya.
“Kenapa kamu penasaran sekali, Mary?” tanyanya dengan senyum kikuk.