IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #37

EMPAT CAHAYA TERANG DI HIDUP MARY PART 2

Malam itu, setelah pesta kecil merayakan keberhasilan lulus ujian masuk universitas, rumah terasa hangat tetapi letih. Di ruang tamu, Shin yang kekenyangan sudah tertidur tertelungkup di sofa. Di dapur, Glen masih sibuk membereskan peralatan memasak, sementara Reiner dan Leo bergantian mencuci piring dan peralatan yang kotor. Ferno, yang harus sekolah besok, sudah lebih dulu menyelinap ke kamar dan tertidur pulas. Dan Pandu yang punya banyak kesibukan, sudah ke kamarnya sejak tadi, entah tidur atau lembur mengerjakan banyak hal yang Mary tugaskan. 

Mary naik ke kamarnya. Sudut kamar masih dipenuhi tumpukan kardus—bekas pindahan yang belum sempat dibongkar karena ia harus mengejar persiapan ujian. Satu per satu ia membuka kardus itu, menyingkap pakaian dan benda-benda yang selama ini tertimbun, memeriksa, menata ulang—sebuah ritual kecil sebelum hidup baru dimulai minggu depan bersama teman-temannya di bangku kuliah. 

Di antara tumpukan kertas dan kain, sebuah foto tua menarik perhatiannya: potret keluarga—Harit, Yasmin, dirinya yang kecil dan Ferno yang masih bayi. Mary mengangkatnya perlahan, mencari bingkai kosong, lalu memasang foto itu di rak samping ranjang. Saat foto itu menempati tempatnya, wajah Yasmin—senyum lembutnya, mata yang hangat—melintas dalam ingatan Mary, membawa kehangatan sekaligus kepedihan. 

Rasa penasaran membuatnya membuka laci di bawah rak. Di sana tersusun amplop-amplop coklat yang diberikan Anggara, sepupu Nia. Bersama dengan dokumen warisan, ada beberapa foto lama: foto pernikahan Nia dan Harit, keluarga besar Nia di depan rumah, dan potret Mary waktu masih kecil. Ia mengambil foto pernikahan Nia. Di sana, bibir Nia tersenyum–senyum yang selama ini jarang terlihat dalam ingatan Mary. Senyum itu memberitahunya satu hal yang tak mudah diterima: perasaan Nia pada Harit bukan sandiwara. Ibu kandungnya benar-benar mencintai Harit, meski dengan cara yang berbeda dengan Yasmin. 

Mary kembali mengais kardus, mencari bingkai kedua. Ada rasa bersalah yang menggerayangi—Nia adalah perempuan yang pernah merenggut nyawa Yasmin, perempuan yang membesarkannya. Seharusnya ia menolak memajang foto itu. Namun setelah mengetahui bagaimana Nia menutup hidupnya demi membuktikan ketulusan cintanya pada Harit, Mary tak bisa menutup mata pada kenyataan: ia punya dua ibu, dua cerita cinta yang bertolak belakang, dua wajah kasih yang tak mungkin disederhanakan menjadi hitam atau putih. 

Ucapan Nia terngiang lagi di kepalanya, kasar dan menuntut: 

“Kamu enggak akan pernah bisa memahaminya, Mary. Tidak sekarang, tidak juga nanti.”

“Kamu tahu apa, Mary? Kamu enggak tahu apa-apa! Kamu enggak tahu betapa besar cintaku pada Ayahmu. Kamu enggak tahu betapa aku berjuang mati-matian agar dia bersamaku. Kamu ada di dunia ini karena cintaku pada pria itu. Kamu ada di sini … karena usahaku! Kalau semua orang di dunia ini menyalahkanku, aku enggak peduli! Tapi kamu, Mary …. hanya kamu seorang yang enggak bisa melakukannya!” 

Mary menutup mata sejenak. Dari Yasmin, ia belajar cinta yang lembut, memberi tanpa syarat; dari Nia, ia menyaksikan cinta yang posesif dan perih. Selama berhari-hari, ia mempertanyakan mana yang benar. Kini, dalam keheningan kamar yang remang, sebuah keputusan perlahan mengerut di dadalnya.

Ia menata dua bingkai foto di rak: satu untuk Yasmin—perempuan yang membesarkannya dengan kasih–dan satu untuk Nia–perempuan yang melahirkannya dengan cinta yang penuh luka. Lalu, sebelum mengembalikan amplop-amplop itu ke laci, Mary mengangkat foto Nia, membiarkan matanya menelusuri garis senyum itu sekali lagi. 

Lihat selengkapnya