Tahun 2011 menjadi tahun bersejarah bagi Mary dan empat sahabatnya. Hari itu mereka berdiri di aula besar dengan toga hitam menempel di tubuh, topi persegi yang bertengger di kepala, dan senyum bangga yang tak bisa disembunyikan. Dulu, mereka pernah berjanji jika diterima bersama, maka harus lulus bersama. Kini, janji itu bukan lagi sekadar kata—mereka benar-benar menepatinya.
Selesai prosesi, mereka berkumpul di halaman kampus. Ferno, adik Mary, yang datang bersama Pandu, mengabadikan momen itu dengan kamera. Klik—sebuah potret sederhana, namun menjadi bukti bahwa Mary, Reiner, Shin, Glen, dan Leo pernah berdiri di titik yang sama, di hari yang sama, mengenakan seragam kebanggaan yang sama.
Namun mereka tahu, kelulusan bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah babak yang baru. Dunia dewasa menanti, dengan tanggung jawab yang tak lagi ringan.
Sore itu, setelah upacara, mereka kembali ke rumah Mary. Seperti kebiasaan yang sudah menjadi tradisi, mereka merayakan momen itu dengan pesta kecil—makan malam sederhana, tawa yang hangat, dan percakapan panjang tak ingin segera berakhir.
“Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?” tanya Mary, memecah keheningan sejenak.
Leo yang pertama menjawab. “Aku masih harus kuliah lagi.”
Mary mengangguk. Ia tahu, menjadi dokter bukan jalan singkat. Leo, dengan kecerdasan dan kerja kerasnya, masih harus menjalani koas, ujian dan perjalanan panjang.
“Untung saja aku enggak ambil jurusan itu,” sahut Shin sambil meringis. “Kalau iya, mungkin kepalaku sudah botak karena kebanyakan belajar.”
Reiner mendengus kecil, lalu melirik Shin dengan tatapan sinis. “Tenang, Shin. Kamu enggak akan sempat botak. Dari tes masuk saja, kamu pasti sudah gagal duluan.”
Glen tertawa, menepuk bahu Shin. “Rei benar juga.”
“Dasar kalian berdua!” Shin bersungut-sungut. “Kalian kompak sekali kalau soal ledekin aku! Mary … belain aku dong. Masa kamu diam saja?”
Tapi bukannya membela, Mary malah menutup mulut menahan tawa. “Maaf, Shin. Tapi … apa yang Rei bilang memang ada benarnya.”
“Luar biasa! Bahkan kamu juga ketawa, Mary! Kalau aku jadi bintang terkenal, nanti jangan ada yang minta tanda tangan dariku!” Shin bersedekap, pura-pura marah.
Mary akhirnya menenangkannya dengan pertanyaan lain. “Terus, kamu sendiri mau ngapain setelah ini, Shin?”
Wajah Shin langsung berubah penuh percaya diri. “Aku dapat tawaran main di panggung teater. Dua minggu lagi aku harus pindah ke kota Antarlina.”
Keheningan jatuh sejenak. Mary dan tiga sahabat lainnya saling berpandangan. Mereka sudah menduga perpisahan cepat atau lambat akan datang, tapi tetap saja terasa terlalu cepat.
“Tenang saja,” tambah Shin cepat, mencoba mengusir rasa sendu. “Jarak bukan masalah. Kalau ada waktu, aku pasti pulang. Sekarang kan ada pesawat, ke sini enggak butuh waktu lama.”