IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #39

CINTA DAN PERSAHABATAN PART 2

Waktu melaju begitu cepat. Dua tahun terasa hanya sekejap mata. Namun jarak dan kesibukan tak pernah benar-benar merenggangkan persahabatan Mary dengan empat sahabatnya. Shin, yang tinggal di luar kota demi mengejar mimpinya, memang jarang pulang. Tapi setiap kali rindu, ia selalu menyempatkan diri mengirim pesan singkat pada Mary–sekadar memberi kabar, atau sekadar menuliskan kata-kata hangat yang mengingatkan Mary bahwa ia tidak pernah benar-benar jauh. 

Leo akhirnya menuntaskan masa koasnya, juga lulus ujian kompetensinya. Kini ia sedang menjalani masa intership—satu langkah lagi sebelum benar-benar resmi menyandang gelar sebagai dokter. Sejak pindah dari rumah Mary dan tinggal bersama Glen di kontrakan, waktunya hampir seluruhnya tersedot oleh rumah sakit. Pertemuan dengan Mary menjadi langka. Kadang, ketika penginapan sedang sepi dan rasa rindu tak lagi bisa ia tahan, Mary sengaja membawa makanan ke kontrakan itu. Jika keberuntungan berpihak padanya, ia akan bertemu dengan Leo, meski hanya sebentar, sebelum laki-laki berkacamata itu kembali dikejar tanggung jawabnya. 

Sementara itu, hidup Glen dan Reiner berjalan jauh lebih tenang. Dua tahun bekerja membawa mereka pada promosi dan kenaikan jabatan. Reiner bahkan sudah cukup berani mencicil sebuah rumah, sedangkan Glen memilih untuk mengontrak saja—menganggap dirinya belum siap terikat pada sebuah tempat permanen.

Akhir pekan sering kali mereka habiskan di rumah Mary. Kadang datang sambil menenteng banyak makanan, kadang hanya sekadar duduk santai, mengobrol ringan dengan Ferno atau Pandu, atau ikut membantu Mary mengurus penginapan. Suasana rumah Mary hampir selalu terasa lebih hangat saat keduanya ada di sana. 

Mary sendiri sering membagi waktunya di antara penginapan dan rumah barunya di Smara. Setiap kali ia pergi ke sana, penginapan ia titipkan pada Pandu–sosok yang sudah seperti paman sendiri. Sayangnya, setengah tahun lalu Pandu meminta pensiun. Ia ingin menghabiskan masa tuanya bersama dengan seseorang yang telah ia tunggu. Dari cerita samar yang Mary dengar, dulu Pandu pernah jatuh cinta, tapi cintanya ditolak karena ia hanyalah anak yatim piatu yang besar di panti asuhan. Sejak saat itu, Pandu tak pernah lagi mencari cinta. Hidupnya ia berikan untuk merawat anak-anak yatim piatu dan mengurus panti asuhan. 

Kini, setelah Pandu benar-benar pergi, rumah Mary kadang terasa lebih sepi. Untuk mengusir kebosanan saat penginapan sedang tidak ramai, ia membuka les kecil-kecilan. Mengajari anak-anak menggambar memberi warna tersendiri dalam hari-harinya, mengingatkannya pada arti sederhana dari kebahagiaan: melihat mata anak-anak itu berbinar ketika goresan sederhana mereka dipuji. 

Dua tahun berlalu, tapi ikatan Mary dengan sahabat-sahabatnya tetap kuat. 

“Sebentar lagi … sepuluh tahun persahabatan kami,” gumam Mary lirih ketika matanya menatap pada kalender di lobi penginapan di mana ia berjaga.

Ia mengetukkan jarinya di meja. Sebuah rencana kecil mulai berputar di kepalanya. Untuk peringatan sepuluh tahun itu, Mary ingin membuat sesuatu—bukan sekadar hadiah, tapi kenang-kenangan yang bermakna. Sesuatu yang bisa mereka simpan bersama, sesuatu yang akan selalu mengingatkan mereka pada perjalanan panjang ikatan ini. 

Tapi … apa? 

Mary duduk di depan komputer uyang biasanya digunakan untuk mencatat daftar pengunjung. Sejak tahun lalu, penginapan sudah sedikit lebih maju berkat saran Glen. Pemesanan bisa dilakukan lewat telepon, bahkan internet. Mary sempat membuat blog dan promosi di Facebook, meski dirinya bukan tipe gadis yang gemar bersentuhan dengan media sosial. Ia lebih menyukai privasi, tapi untuk pekerjaan ia rela menyingkirkan rasa enggannya. 

Gelang? Terlalu umum. 

Lihat selengkapnya