IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #41

CINTA DAN PERSAHABATAN PART 4

Tadinya Mary berharap akan mendapatkan ketenangan ketika berada di kontrakan Ferno. Ia berharap bisa bercerita dengan sang adik untuk sedikit meringankan bebannya. Tapi, begitu berhadapan dengan adik tirinya, ia justru kehilangan kata-kata. Bagaimana ia harus menjelaskan? Apa yang menimpanya bukanlah sesuatu yang lazim terjadi. Satu atau dua orang menyatakan perasaan padanya, mungkin masih bisa dimengerti. Tapi empat sahabatnya—semuanya, nyaris bersamaan—itu terdengar seperti kisah yang mustahil. 

“Sudah dua hari Kakak menginap di sini,” suara ferno memecah hening. Ia menatap Mary dengan raut ingin tahu. “Tapi Kakak belum cerita apa-apa. Apa aku harus bertanya langsung pada empat sahabat Kakak itu, biar aku tahu alasan Kakak melarikan diri ke sini sampai-sampai meninggalkan penginapan terlalu lama?” 

Marty tersentak. Jantungnya berdentum keras. Kata-kata adiknya terdengar seperti pukulan telak. Dengan wajah menyesal, Mary berusaha menutupi rasa bersalahnya. “Kamu tahu aku ke sini … untuk melarikan diri?” tanyanya lirih. 

Ferno hanya mengangguk. Pandangannya melirik ponsel Mary yang terus bergetar tanpa henti selama dua hari terakhir. Panggilan berganti-ganti, empat nama yang sama, empat orang yang sama. Bahkan dirinya pun juga ikut terkena imbasnya, menerima pesan berulang kali dari mereka. 

Ferno, apa Mary bersamamu? 

Gimana keadaan dia? 

Tolong, bilang ke Mary untuk angkat teleponnya. 

Pesan-pesan itu membuat Ferno yakin: ada sesuatu yang jauh dari biasa di antara sang kakak dan empat sahabatnya itu. 

“Dua hari ini Kakak selalu menolak panggilan mereka. Padahal biasanya kalian selalu bersama, saling menghubungi satu sama lain,” ujar Ferno dengan nada tenang tapi tajam. “Kalian selalu bersama, sekolah dan kuliah di tempat yang sama, bahkan sampai terpisah oleh jarak pun … hubungan kalian tetap baik-baik saja. Jadi, kenapa kali ini tidak? Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian, Kak?” 

Mary menunduk, menatap layar ponselnya yang penuh dengan panggilan tak terjawab dan pesan masuk yang belum dibaca. Dadanya sesak. Ia tahu telah membuat keempat sahabatnya khawatir, tapi ia juga tahu … ia butuh waktu untuk mengurai semua yang berantakan di hatinya. 

“Jadi ada apa, Kak?” desak Ferno lagi, kali ini dengan nada lebih cemas. 

Mary mengangkat pandangan, menatap adiknya. Ferni-anak muda yang terpaksa tumbuh lebih cepat karena trauma masa kecil, karena tragedi keluarga mereka. Di hadapan Mary, ia selalu berusaha kuat, memegang ajaran sang ayah bahwa laki-laki harus melindungi. Tapi Mary tahu, di hadapan empat sahabatnya, Ferno kadang membiarkan sisi rapuhnya terlihat. Itu tanda betapa ia juga sangat menyayangi empat sahabat sang kakak. 

“Aku … bingung harus gimana bilangnya,” ucap Mary, suaranya bergetar. “Tapi janji jangan tertawa kalau aku bilang, ya.” 

Ferno mengangguk, lalu mengangkat jari kelingkingnya. “Aku enggak akan tertawa. Janji. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian, Kak?” 

Mary menarik napas panjang. Lalu dengan suara lirih, ia mengaku, “Mereka semua … mengaku padaku, Ferno.” 

“Mengaku?” Ferno mengernyit. “Mengaku apa?” 

Mary menutup mata sejenak, lalu membuka kembali dengan sorot mata penuh lelah. “Mengaku bahwa mereka menyukaiku. Sejak lama.” 

Sejenak, keheningan menggantung. 

“Apa??” Ferno hampir berteriak, matanya membelalak. Ia benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja didengar. “Kakak … enggak bercanda, kan?” 

Mary mendengus kesal, wajahnya memerah karena beratnya pengakuan itu. “Menurutmu, apa hal kayak gini bisa dijadikan bahan bercanda, adikku sayang?” 

“Maaf, Kak. Kupikir Kakak sedang bercanda,” ucap Ferno akhirnya, kali ini nadanya lebih berat, lebih serius. Ia menatap Mary lekat-lekat, seolah ingin memastikan kebenaran ucapannya. “Mereka berempat benar-benar menyatakan perasaan pada Kakak?” 

Lihat selengkapnya