IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #43

DOA KECIL MARY

Februari, 2014 

Untuk beberapa waktu, keadaan di antara Mary dan empat sahabatnya masih terasa canggung. Jawaban yang ia berikan pada pengakuan mereka jelas meninggalkan luka, sekalipun mereka berusaha menutupinya dengan tawa dan senyum. Namun Mary yakin, luka itu hanyalah sementara. Persahabatan yang sudah terjadi sepuluh tahun lamanya tidak mungkin runtuh hanya karena satu keputusan kecil. 

Keyakinan itu lahir dari pengalamannya sendiri. Mary tumbuh bersama mereka, melihat mereka jatuh bangun, berubah, dan tetap kembali berdiri di sisinya. Empat pria itu adalah buktinya: bahkan badai paling dahsyat sekalipun tidak mampu memisahkan mereka. Dan keyakinan itu, baginya, adalah doa yang terus ia bisikkan setiap hari. 

Memang, untuk sementara waktu canggung tak terhindarkan. Tapi Mary percaya, kedekatan, tawa, dan canda akan kembali seperti semula. 

Perlahan, masing-masing dari mereka kembali ke jalannya. Shin, dengan semangatnya, kembali ke Antarlina. Ada seseorang yang menaruh perhatian pada aktingnya–seseorang yang membuka kemungkinan baginya untuk terjun ke dunia film, lebih besar dari sekadar panggung sederhana yang hanya ditonton segelintir orang. 

Leo, kembali dengan kesibukan magangnya. Tidak lama lagi ia akan sungguh menjadi seorang dokter. Ia bahkan berkata mungkin harus pindah kota untuk melanjutkan intership di rumah sakit yang lebih besar. Mary tahu, setelah itu, pertemuannya dengan Leo tidak akan sesering sekarang. Sementara Reiner dan Glen tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Mereka jarang punya waktu luang, tapi selalu menyempatkan diri mampir ke penginapan Mary. Jika tidak sempat, setidaknya sebuah pesan singkat selalu masuk di ponsel Mary–pesan sederhana, hangat, tentang hari mereka. 

Canggung memang ada, tapi benang persahabatan tetap mengikat mereka. 

Mary sendiri, setelah melewati begitu banyak pahit getir hidup, tak pernah memilih lebih pada Tuhan. Ia tak tergiur kemewahan duniawi. Yang ia inginkan hanya satu: hidup sederhana, bahagia, bersama empat sahabatnya … dan satu-satunya keluarga yang tersisa, adiknya, Ferno. 

Namun hari itu, doanya terguncang. 

Panggilan telepon datang–dari rumah sakit. Ferno baru saja dilarikan ke UGD. Mary tiba di UGD dengan dada berdebar, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Bayangan kehilangan kembali menelannya bulat-bulat. Ia sudah kehilangan ayah, ibu kandung, dan ibu tirinya. Jika adiknya juga harus pergi … ia tak yakin bisa bertahan. 

“Ferno! Kenapa kamu enggak bilang kalau sakit?!” seru Mary begitu sampai di ruang UGD. Suaranya pecah oleh panik. 

Di atas ranjang putih, Ferno terbaring lemah. Wajahnya pucat, bibirnya nyaris kehilangan warna. Selang infus menusuk pergelangan tangannya, menyalurkan cairan yang diharapkan bisa mengembalikan tenaganya. 

“Ma-maaf, Kak …” suara Ferno parau, terputus-putus. “Aku pikir cuma kelelahan. Aku enggak nyangka tubuhku selemah ini.” 

Air mata Mary jatuh tanpa bisa ia cegah. Ia menggenggam erat tangan sang adik, tubuhnya gemetar hebat. “Jangan begini lagi, Ferno! Kita hanya punya satu sama lain. Kalau ada apa-apa, kamu harus bilang. Aku enggak sanggup kehilangan lagi. Setelah Ayah, Ibu … aku mungkin enggak akan sanggup kalau kamu juga pergi. Tolong, jangan buat kakak merasakan itu lagi!” 

Ferno mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh wajah Mary. Ia usap pelan air mata yang membasahi pipi kakaknya. “Maaf, Kak. Aku janji … aku enggak begini lagi. Kalau sakit, aku akan langsung bilang sama Kakak.” 

Mary menggenggam tangan itu lebih erat, seakan takut kehilangan. “Ya, kamu harus. Kita cuma punya satu sama lain. Ingat itu.” 

“Ya, Kak … aku janji,” balas Ferno dengan senyum tipis yang masih dipaksakan. “Aku cuma … enggak mau merepotkan Kakak. Kakak sibuk dengan penginapan, kadang harus bolak-balik Smara, Prema … “ 

“Dasar kamu ini!” Mary melepaskan genggamannya lalu menjentikkan dahi adiknya pelan. “Direpotkan kamu, itu tugasku! Aku kakakmu, jadi wajar kalau aku direpotkan. Nanti … saat aku tua, gantian aku yang akan merepotkanmu. Kamu enggak tahu itu?” 

Tawa kecil keluar dari bibir Ferno. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya perlahan tidak sepucat tadi. “Kalau gitu … lain kali akan pasti akan lebih sering ngerepotin Kakak.” 

Mary ikut tersenyum. Bayangan kehilangan yang sempat menghantuinya mulai sirna. “Jangan lupa, Ferno. Kakakmu bukan cuma aku. Masih ada empat lainnya. Mereka pasti akan marah kalau kamu bilang kakakmu cuma aku seorang.” 

Lihat selengkapnya