IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #44

PILIHAN DAN TAKDIR PART 1

Mei 2014. 

Sebuah kabar datang mendadak. Leo, pria berkacamata yang selalu tampak tenang, muncul dengan senyum yang sulit disembunyikan. 

“Shin akhirnya dapat kesempatan main di layar lebar,” ujarnya pada Mary. “Dan bukan sekadar figuran, tapi pemeran utama.” 

Mary terbelalak. Berita itu baginya seperti kilatan cahaya. Shin, yang selalu bercanda dan penuh tawa, kini benar-benar mewujudkan mimpinya. Bahkan demi membagikan kabar itu, ia sengaja pulang untuk memberi kejutan. 

“Selama ini Shin beberapa kali dapat peran figuran,” sambung Leo, suaranya sedikit melembut. “Tapi dia enggak mau cerita. Katanya, belum layak dibanggakan padamu, Mary.” 

Mary menutup mulutnya, terkejut. “Kenapa? Kalau saja dia bilang, sudah sejak dulu kita bakal buat pesta kecil untuknya.” 

Leo tersenyum tipis, lalu menunduk sebentar sebelum berkata lirih, “Mungkin karena kamu penggemar pertamanya. Shin ingin memberi kejutan yang benar-benar membanggakan. Bagaimanapun, kamulah alasan kenapa dia ingin jadi aktor terkenal. Kamu ingat, kan?” 

Mary mengangguk. Ingatannya melayang pada masa SMA, ketika Shin untuk pertama kalinya naik panggung. Tepuk tangan penonton saat itu membuat matanya berbinar, seolah menemukan arah baru: dunia akting. 

“Jadi, mau buat kejutan di mana?” Mary menggaruk kepalanya. “Penginapanku sedang ramai sekali. Kalau di sana, sepertinya … enggak mungkin.” 

“Tenang.” Leo mengangkat tangannya, seolah sudah punya rencana. “Kita bisa sewa cafe di kota. Kamu kabari Rei dan Glen, biar kalian atur pestanya. Aku yang jemput Shin di bandara. Dia hanya sebentar di sini, beberapa bulan ke depan bakal sibuk dengan latihan peran dan syuting.” 

“Oke!” Mary menyahut penuh semangat, matanya berbinar. “Kita pasti bikin Shin terkejut habis-habisan.” 

“Oh, satu lagi.” Leo tersenyum, mengingatkan. “Ajak Ferno juga. Adik kita enggak boleh ketinggalan momen besar ini.” 

Mary tersenyum lebih lebar. Hatinya hangat setiap kali empat sahabatnya menyebut Ferno sebagai adik mereka. “Tentu. Aku akan ajak dia.” 

Dan sesuai rencana, Mary mengabari Reiner, Glen, juga Ferno. Ia meminta mereka meluangkan waktu di tengah kesibukan. Baginya, kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan—Shin mungkin tak akan lama di Prema karena peran besar menunggunya di masa depan. 


20 Mei 2014

Hari kedatangan Shin. Awalnya, ia berniat untuk memberi kejutan pada sahabat-sahabatnya: Mary, Reiner, dan Glen. Bahkan, ia sudah membisikkan pada Leo rencana kecilnya untuk datang secara tiba-tiba dan mengejutkan sahabat-sahabatnya. Ia ingin sekali melihat wajah berbinar Mary bangga, dan—tak bisa dipungkiri—ingin sedikit menyombongkan diri di depan Reiner yang kerap mengejeknya dengan kata-kata pedas. 

Namun takdir membalikkan keadaan. Begitu langkahnya memasuki cafe bersama Leo dengan niat ingin membeli kue kejutan, suara riuh langsung menyambut: 

“Selamaaat untuk peran utamanya!” teriak Mary, Reiner, Glen, dan Ferno serentak. 

Shin membeku. Leo, dengan wajah datarnya yang khas, ternyata berhasil memperdayanya: bersikap ingin ikut dalam rencananya tapi diam-diam telah memberi tahu tiga sahabatnya. Leo bahkan beralasan ingin membeli kue untuk kejutan sebagai alasan membawa Shin ke dalam cafe. Semua kejutan itu pecah jadi tawa. 

“Kalian … “ suara Shin tercekat. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Kalian benar-benar …” 

Mary tak lupa mengangkat kameranya. Klik! Kilatan pertama mengabadikan wajah bahagia Shin karena kejutan yang dibuatnya bersama dengan Reiner, Glen, dan Ferno. Klik! Kilatan kedua mengabadikan wajah bahagia empat sahabatnya. 

Bagi Mary, hari ini bukan sekadar pesta kecil, ini adalah langkah besar pertama Shin menuju mimpi yang dulu hanya sebatas khayalan. 

Selesai dengan rasa haru, tawa mulai memenuhi ruangan. Mereka mulai makan bersama, tawa menggema saat Reiner dan Glen mengoleskan krim kue ke wajah Shin. Leo hanya menghela napas panjang, mencoba menahan diri agar tak ikut tertawa terlalu keras, sementara Ferno duduk tenang menikmati potongan cakenya sembari beberapa kali menggelengkan kepala. 

Laki-laki paling muda itu pasti sudah cukup bosan melihat tindakan tiga dari empat kakak laki-lakinya yang kadang terlihat seperti anak-anak. 

Klik! Klik! Mary kembali memotret, memastikan setiap momen di hari bahagia itu terekam. Dari balik lensa kameranya, Mary bersyukur untuk kebahagiaan yang didapatnya hari ini. 

Inilah kebahagiaan yang aku minta, Tuhan.

Kami bersama seperti ini. Menjadi tua sebagai sahabat dan keluarga yang tak terpisahkan. 

Sederhana … tapi inilah doaku. 

Mary tadinya ingin membidik Reiner yang mendadak kehilangan senyum di bibirnya. Mendadak laki-laki itu bangkit dari kursinya, berjalan keluar cafe tanpa sepatah kata. Mary, merasa aneh, ikut berdiri. 

Sebelum ia melangkah, telinganya menangkap suara Shin. “Kalau kalian mau minta tanda tangan, sekarang saja! Nanti kalau aku sudah terkenal, harga tanda tanganku mahal banget. Khusu kalian, harus bayar mahal!” 

“Bukannya harusnya gratis?” Glen memprotes polos. 

“Justru karena kalian sahabatku, kalian harus bayar mahal!” Shin tertawa terbahak-bahak, penuh percaya diri. 

Lihat selengkapnya