Maret 2014
Mary memindahkan sebagian barang-barangnya dari rumah di Prema ke rumah warisannya di Smara. Napasnya tersengal setiap kali ia mengangkat kotak-kotak kardus yang tampak lebih berat dari perkiraannya.
“Mau ditaruh di mana kotak ini, Bu?” tanya pria pengantar barang sambil mengangkat salah satu kardus besar.
“Di lantai satu saja. Untuk ranjang dan kasurnya, tolong dibawa ke lantai dua, ya,” jawab Mary dengan senyum ramah, meski dada terasa sesak menahan napas.
Hari itu pertengahan Maret. Penginapan sedang sepi, dan Mary sengaja memilih waktu ini untuk memindahkan sebagian barang-barang pribadinya. Dalam hatinya, ia sudah tak sabar ingin menempati rumah warisannya di Smara yang telah direnovasi menjadi baru. Rumah itu dikelilingi hamparan bunga matahari kuning yang selalu membuatnya merasa hangat, menjadi alasan Mary ingin segera pindah. Rencananya, setelah Ferno lulus kuliah, ia akan tinggal di rumah ini sepenuhnya dan mengawasi kebun warisannya dari dekat.
“Bu, semua barangnya sudah selesai dimasukkan.”
Setelah hampir satu setengah jam, semua barang milik Mary bersama dengan barang-barang yang baru dibelinya, sudah diturunkan. Ia mengucapkan terima kasih, membayar, lalu mulai membongkar satu per satu.
Barang pertama yang ia tata adalah sofa berwarna terracota berbentuk melingkar di ruang tengah. Di bawahnya, ia bentangkan karpet cokelat hangat, lalu meletakkan meja kopi berwarna krem di atasnya. Setelah itu ia beralih ke ruang makan, membongkar meja persegi panjang berwarna coklat muda dengan enam kursi senada. Dari dapur, ia menatap perlengkapan masak dan makan, lalu menempatkannya di kitchen set yang baru di bangun bersama rumah ini.
Rumah ini memiliki tema berwarna putih. Cat luar dan dalam, berwarna putih. Kitchen set-nya juga dibangun dengan warna putih. Kesan putih memberikan kesan lengang dan menenangkan karena rumah itu dikelilingi oleh hamparan bunga matahari. Tapi agar tidak monoton, beberapa perlengkapan rumah diberi berbagai macam warna yang senada.
Selesai di lantai satu, Mary naik ke lantai dua.
Di sana ia harus merakit ranjang, beberapa rak, membongkar lemari, dan memutuskan kamar mana yang akan dijadikan ruang kerjanya untuk melukis. Di lantai dua ada tiga kamar, satu kamar adalah kamar utama dengan ukuran yang paling besar. Dua kamar lainnya, berukuran sama. Beberapa lukisan Mary sudah lebih dulu ia simpan di rumah ini. Tapi sebelumnya, ia hanya meletakkannya di lantai dua saja.
“Kamar yang mana?” gumamnya bingung. Setelah berpikir sejenak, Mary memilih satu kamar yang letaknya paling dekat dengan kamarnya, sebagai ruang ruang kerjanya–tempat untuk meletakkan koleksi lukisannya, koleksi kameranya, dan beberapa barang penting miliknya.
“Harus aku taruh di mana?” Mary kembali bergumam. Kali ini ia bingung harus meletakkan di mana beberapa lukisan yang sengaja ia buat sebagai pemanis rumah.
Sebagian lukisan akan dipajang di rumah, sebagian lagi disimpan di ruang kerjanya. Ia ingin rumah ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, tapi juga ruang yang membuktikan dirinya seorang pelukis. Dalam hati, ia bermimpi suatu hari bisa mengadakan pameran kecil, memamerkan karya-karyanya bersama karya murid-murid lesnya.
Hari pun beranjak sore tanpa terasa. Seharian penuh Mary sibuk membongkar, menata, hingga membersihkan rumah warisannya. Padahal sebagian besar barang sudah dalam keadaan terakit—ia hanya perlu menata dan menyusunnya. Tapi ternyata menata rumah, menguras waktu dan tenaganya, lebih dari yang ia perkirakan.
Lelah, Mary akhirnya bersandar di dekat jendela besar kamar utamanya. Dari sana, ia bisa melihat hamparan bunga matahari yang mengelilingi rumah, kuningnya berpendar indah diterpa cahaya senja. Angin sore berembus lembut masuk lewat jendela sisi lain yang sengaja dibiarkan terbuka dan tirai putih, membuat tubuh lelahnya sedikit segar kembali.
“Rumah ini indah sekali … tapi, kelak dengan siapa aku akan tinggal di sini?” bisiknya lirih.
Kenangannya melayang ke masa lalu, saat pertama kali ia mendesain rumah ini bersama Reiner.