IN THE LIGHT OF FOUR

mahes.varaa
Chapter #46

PILIHAN DAN TAKDIR PART 3

Selagi menulis, pikiran Mary seperti pusaran ombak. Satu demi satu kenangan bermunculan, berdesakan seolah berlomba untuk menghadirkan luka paling dalam di hatinya. Ingatannya tentang kata-kata Nia, kebersamaannya dengan empat sahabatnya, arti cinta yang dipelajari dari dua ibunya, kisah tragis orang tuanya, dan … pengakuan empat sahabatnya belum lama ini, semuanya berputar bagai film yang tak berhenti. 


Tentang kebohongan yang aku buat padamu, pada kalian. Kebohongan itu soal perasaan yang telah lama aku simpan. Aku berbohong saat mengatakan bahwa aku tidak menyukai satupun dari kalian. 


Padahal kenyataannya, sejak lama … aku telah menyimpan perasaan itu untuk salah satu dari kalian. 


Menurutmu, siapa dia, Rei? 

Dia orang yang selalu berdiri di depanku, melindungiku, menjagaku. Dia orang dengan punggung hangat meski wajahnya selalu tampak dingin. 


Aku yakin … kamu sudah bisa menebaknya, Rei. 

Kamulah orang itu, Rei. 

Kamulah orang yang aku suka sejak lama, Reiner. 


Saat menulis nama Reiner, Mary seperti terseret kembali dalam kenangan-kenangan yang pernah membuatnya jatuh hati pada laki-laki itu. Hari pertama mereka bertemu. Hari ketika ibunya hampir membunuhnya. Hari ketika Reiner duduk membelakanginya, memberikan punggungnya sebagai sandaran. Entah kenapa, bayangan punggung itu selalu muncul dalam setiap ingatan tentang Reiner. Dan tanpa sadar, di situlah perasaan Mary tumbuh–pelan, dalam, tak terelakkan. 

Punggung hangat tempatnya bersandar itu … adalah alasan kenapa ia bisa bertahan di tengah keputusasaan hidup. 


Kamu tahu, Rei, punggungmu itu benar-benar hangat. Terlalu hangat, hingga aku ingin selalu bersandar di sana. 


Itulah sebabnya Mary selalu memilih berjalan di belakang mereka, diam-diam memperhatikan punggung itu, seperti yang dulu ia lakukan ketika mengikuti ayahnya. Dan tanpa empat sahabatnya sadari, punggung yang paling sering ia perhatikan selalu milik Reiner. Punggung Reiner adalah punggung paling hangat yang pernah ia lihat selain milik ayahnya. 

Senyum kecil sempat muncul di bibir Mary saat kenangan itu terlintas. Senyum yang seharusnya tak pernah muncul di wajah yang basah oleh air mata. 


Kamu pasti ingin tahu, sejak kapan aku mulai menyukaimu, Rei? 


Jawabannya … mungkin sejak awal. Sejak pertemuan kita, saat kamu melompat ke depanku untuk melindungiku. Itulah kenapa tanggal 27 Januari selalu berarti bagiku. Hari itu … aku bukan hanya bertemu empat sahabat terbaik yang jadi cahaya terang hidupku. Hari itu … aku bertemu denganmu juga, Rei. Hari itu … adalah awal dari perasaanku padamu. 


Air mata Mary jatuh semakin deras. Dulu, ia pernah membayangkan masa depannya bersama Reiner di rumah ini–bersama, bahagia, penuh tawa. Namun kini, semua itu hanya bayangan yang harus ia simpan rapat-rapat sampai akhir hidupnya. 


Kalau kamu tahu perasaanku, kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku menolakmu saat kamu mengaku suka padaku, kan, Rei? 


Lihat selengkapnya